Bagi saya, Kompasiana bukan sekedar platform. Kalau hanya sekedar platform, di dunia maya banyak sekali saya temukan platform menulis. Bahkan platform tersebut menawarkan berbagai keunikannya.Â
Ternyata, tidak satu pun dari platform tersebut yang berhasil menambatkan hati saya sekuat Kompasiana.
Memangnya, ada apa dengan Kompasiana?
Kalau saya coba analogikan, maka Kompasiana itu ibarat tungku perapian di daerah yang suhunya sangat dingin. Kog bisa iya?
Saya jadi teringat pernah tinggal di sebuah daerah yang sangat dingin. Pangaribuan, Tapanuli Utara. Saking dinginnya, minyak goreng pun akan membeku.
Karena suhunya sangat dingin, di rumah tempat kami tinggal saat itu, ada sebuah tungku perapian. Kalau menjelang sore atau malam hari, kami sekeluarga akan mendekat pada tungku perapian yang sudah menyala. Tujuannya, agar tubuh tetap hangat. Kalau tidak, maka tubuh pun akan terasa dingin. Menggigil. Siapa yang tahan?
Kompasiana juga demikian.
Kalau saya semakin mendekat atau merapat dengan Kompasiana, maka semangat saya pun menjadi hangat. Semangat yang hangat itu pun akan menggerakkan saya untuk terus menulis. Ide-ide untuk menulis pun berseliweran. Tetapi kalau mulai menjauh dari Kompasiana, semangat menulis menjadi dingin dan semakin pudar.
Harus saya akui, sebelum bergabung dengan Kompasiana, tepatnya 29 April 2015 lalu, saya kurang produktif menulis. Tetapi setelah bergabung dengan Kompasiana, maka lambat laun saya semakin gencar dan lancar menulis.
Tentu ada banyak alasan mengapa setelah saya bergabung dengan Kompasiana, saya memakin gencar dan lancar menulis.