Ternyata, setelah terjadinya krisis moneter Asia 1997, maka sejak awal tahun 2000-an pemerintah telah meresponi dampak krisis keuangan tersebut dengan penyusunan kerangka Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia dan membentuk Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK). Melalui kerangka tersebut, Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia dengan dua pendekatan yaitu pendekatan mikroprudensial dan makroprudensial.
Dalam tulisan ini sendiri, secara spesifik akan dibahas tentang pendekatan kebijakan makroprudential sebagai upaya menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan kebijakan makroprudensial tersebut?
Menurut Bank for International Settlement (BIS) Swiss mengatakan bahwa kebijakan makroprudensial didefenisikan sebagai kebijakan untuk membatasi risiko dan biaya krisis sistemik.
Sementara European Systemic Risk Board (ESRB) mengatakan bahwa kebijakan yang ditujukan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan secara keseluruhan, termasuk dengan memperkuat ketahanan sistem keuangan dan mengurangi penumpukan risiko sistemik, sehingga memastikan keberlanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Senada halnya dengan yang disampaikan oleh IMF, yakni kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan resiko sistemik.
Dari ketiga defenisi tersebut, jelas terlihat bahwa ada tiga unsur penting dalam kebijakan makroprudensial dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan yakni berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan (system wide perspectives), membatasi terbangunnya (build-up) resiko sistemik, serta melakukan prinsip kehati-hatian agar terjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi.
Kemudian, mengapa kebijakan makroprudensial tersebut diperlukan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama sekali kita harus memahami karakteristik dari sistem keuangan tersebut, yakni:
- Interconnectedness. Adanya keterkaitan dan interdependensi antar institusi dalam sistem keuangan, maka permasalahan dalam satu institusi dapat dengan cepat menyebar ke institusi lainnya.
- Too big to fail. Potensi penyebaran risiko (spillover) akan meningkat jika institusi yang bermasalah adalah institusi yang sistemik.
- Common risk factor. Adanya risiko pada aktivitas bisnis di sistem keuangan yang umumnya terakumulasi di satu sektor yang sama
- Risk taking behavior. Perilaku ambil risiko yang mengakibatkan ketidakseimbangan di sistem keuangan
Dengan karakteristik keuangan yang demikian, disimpulkan bahwa untuk menjaga stabilitas sistem keuangan diperlukan pengaturan dan pengawasan yang bersifat agregat, berorientasi sistem, memandang semua elemen sistem keuangan (seperti bank, IKNB, koorporasi, infrastuktur keuangan dan rumah tangga) adalah satu kesatuan, serta waspada pada potensi risiko sistemik. Pendekatan inilah yang diakomodasi oleh makroprudensial.
Lalu, siapakah yang berperan melakukan kebijakan makroprudensial tersebut?