Als Ik een Minister van Religie was
Semenjak maraknya media sosial, maka produksi hoaks pun semakin tumbuh subur di masyarakat. Bukan saja dilakukan oleh individu, tapi sejumlah kelompok yang terorganisir. Bukan saja pelakunya kaum awam, tapi kaum terdidik pun ada yang terlibat di dalamnya.
Sebagai pengguna media sosial, tentu fenomena ini sering kita lihat. Beranda media sosial yang kita harapkan berisi konten maupun informasi yang benar, sekarang mulai dipenuhi oleh sampah-sampah hoaks yang asal muasalnya pun tidak jelas kita ketahui.
Tanpa disadari, secara pasif, diantara kita mungkin ada yang telah terpengaruh oleh konten dan informasi hoaks tersebut. Ada pula orang yang mudah percaya tanpa melakukan verifikasi atas kebenaran terlebih dulu.
Celakanya lagi, ada yang dengan ringan tangan untuk membagikan dan menyebarkannya tanpa berpikir panjang akibat yang ditimbulkan dan dirugikannya.
Nah, bangsa dan masyarakat kita pun mulai memasuki "darurat hoaks". Di masyarakat dengan mudahnya terjadi konflik dan perpecahan akibat berita hoaks, tindakan persekusi kepada seseorang, ada yang merusak dan mencemarkan nama baik orang lain, hingga menimbulkan kecurigaan dan hilangnya kepercayaan terhadap diri seseorang.
Kalau begitu, apakah kita harus anti terhadap media sosial?
Pisau itu berfungsi untuk memotong bawang, tapi bisa juga melukai orang. Begitu pula dengan media sosial, bisa berguna untuk silaturahmi dengan kawan lama di dunia maya, berbagi informasi, membangkitkan kreativitas, melakukan promosi barang dagangan dan masih banyak lagi. Tapi tidak sedikit yang memanfaatkan untuk hal-hal destruktif, menghina orang lain, hingga menyebarkan berita hoaks.
Artinya kita tidak perlu membuang pisau agar tidak melukai orang. Dan tidak perlu melenyapkan media sosial agar konten berita hoaks lenyap dari muka bumi. Sekarang, bagaimana caranya setiap orang bisa bertanggung jawab dengan pilihan dan tindakan masing-masing. Sehingga media sosial tersebut digunakan semestinya.
Dengan demikian, maka peran lembaga terkait yang kompeten tentu diharapkan bisa menjadi pemberi solusi untuk hal itu. Salah satunya adalah Kementerian Agama Republik Indonesia.