Sebagai seorang guru tentu sangat prihatin dengan berbagai permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan akhir-akhir ini. Semua tahu, bagaimana wajah pendidikan kita. Media massa dan media sosial dengan jelas memberitakannya ke khalayak luas.
Masih segar dalam ingatan, sebuah peristiwa tragis dimana seorang guru dibunuh oleh muridnya sendiri. Bahkan bukan itu saja. Masih banyak deretan kisah yang menggambarkan kelabunya pendidikan di negeri kita. Penganiayaan orangtua terhadap guru, guru kepada anak didik hingga tindakan perundungan diantara siswa.
Seolah roh pendidikan itu telah melayang meninggalkan raganya. Pendidikan yang sejatinya mencerahkan pikiran dan melembutkan hati, mentransformasi diri, dan mempertajam impian (visi) dan terutama menjadikan insan yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan. Bagi sebagian telah tergerus oleh perubahan yang tak terbendung, kompleksnya permasalahan hidup, hingga pada krisis keteladanan.
Anomie. Begitulah keadaan yang terjadi. Artinya banyak orang telah kehilangan pegangan dalam kehidupannya. Terkadang seseorang ada yang memiliki kesulitan menentukan sebuah kebenaran, melakukan hal-hal yang baik dan berguna dalam hidup, hingga menentukan prioritas yang harus dilakukan. Sekali lagi, hal itu terjadi karena seseorang telah kehilangan pegangan.
Sesungguhnya, mengapa seorang bisa kehilangan pegangan?
Peran keluarga yang semestinya menjadi tempat sosialisasi primer, yakni menjalankan perannya untuk menanamkan nilai, norma dan kebiasaan yang baik dan benar kepada anak. Terutama dalam menanamkan nilai-nilai kerohanian yang sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tetapi hal itu pun tidak terlaksana sempurna. Mungkin karena adanya permasalah dalam keluarga dan orangtua tidak bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Begitu pula proses pendampingan dalam pembelajaran hidup mulai memudar. Faktor kesibukan orangtua telah dijadikan sebagai alasan pembenaran diri. Belum lagi proses pewarisan budaya yang kian hari semakin melemah. Padahal sangat nyata jika pewarisan budaya tersebut sangat penting untuk generasi berikutnya agar bisa mengerti keluhuran dan kearifan budaya yang sesungguhnya.
Bukan itu saja. Guru ada saja yang tidak menampilkan integritas diri, tidak sesuai antara apa yang diomongkan dengan apa yang yang dilakukan. Bahkan sekolah pun tidak bisa menjadi solusi dan menawarkan kebutuhan lagi bagi seorang anak didik.
Dan yang terakhir, ketika seorang anak tidak lagi memiliki lingkungan masyarakat yang kondusif yang mampu membuatnya memiliki tempat untuk bertumbuh dan berkembang secara positif. Atau justru lingkungan masyarakatnya menjadi tempat menyerap hal-hal yang negatif saja.
Jika demikian yang terjadi, maka proses pendidikan pun akan terganggu, terhambat atau tidak memiliki arah yang jelas. Untuk itu revolusi mental dalam pendidikan pun harus segera dilaksanakan.
Saatnya semua unsur yang berhubungan dengan aspek pendidikan anak harus bersinergi. Antara keluarga, sekolah dan masyarakat, harus saling mendukung dan menjalankan peran yang sesungguhnya. Atau yang dikenal dengan istilah Tri Pusat Pendidikan.