Tiga tahun yang lalu.....
Tukang setrika di rumah kami bercerita bahwa tiga rumahnya telah dijual kepada pengembang. Mereka pun akhirnya mendapat uang senilai Rp. 1 Miliar.
Secepat menerima uang tersebut, secepat itu pula mereka menghabiskannya. Tanpa pikir panjang dan pertimbangan matang menurutku, mereka membeli sebuah pick up dan Honda Jazz dengan cara menyicil.
Uniknya, adakalanya si suami mengantarnya ke rumah kami dengan Honda Jazz-nya. Terkadang saya jadi senyum sendiri. Saya berpikir, bisa-bisa biaya bensinnya malah lebih besar daripada bayaran nyetrikanya. Tapi mungkin, mereka tidak terlalu memikirkannya waktu itu karena masih memiliki banyak uang dari hasil penjualan rumah mereka.
Tapi tidak lama berselang, cerita sedih pun mulai terdengar. Saat nyetrika di rumah, dia kembali bercerita kepada istriku bahwa mereka telah tertipu. Ternyata Honda Jazz yang baru mereka beli tersebut bermasalah. Dan mobil tersebut akhirnya sudah ditarik pemilik kembali. Uang yang sudah mereka setor diawal pun ternyata tidak dapat diambil kembali. Sedih mendengar ceritanya.
Untungnya memang mereka sudah sempat membeli dua rumah pengganti yang lebih murah dari rumahnya terdahulu. Dan ibunya juga pun bisa menjalankan ibadah umroh. Jadi, walaupun uangnya Rp. 1 M sudah menipis, setidaknya ada yang berbekas.
Tapi bila dilihat dari kacamata "financial planner", tentu mereka telah gagal dalam menentukan prioritas, khususnya pembelian mobil tersebut. Seandainya mereka tadinya menabung di bank atau dalam bentuk deposito, hasilnya tentu jauh lebih bermanfaat.
*****
Mengelola keuangan memang bukan perkara mudah. Buktinya, ada orang yang sudah lanjut usia ternyata belum sukses mengelola keuangannya. Selain itu ada juga pekerja yang bergaji tinggi tapi selalu tidak mampu untuk mencukupi kebutuhannya setiap bulannya karena boros. Terkadang keingin seseorang adalah musuh terbesar untuk bisa mengelola keuangan dengan baik.
Tetapi jangan salah, tentu ada juga mengatakan dan menganggap bahwa mengelola keuangan itu gampang. Misalnya si bijak. Tipikal seperti ini selalu menyisihkan terlebih dahulu penghasilannya untuk ditabung. Setelah itu, baru mengalokasikan dananya untuk belanja memenuhi kebutuhannya, bukan keinginan.
Anda dan saya tentu berada pada salah satu posisi tersebut di atas atau mungkin bisa saja mirip. Mari kembali merefleksikan diri untuk setiap pengalaman yang telah kita jalani selama ini.
Terlepas posisi kita pada kategori pertama atau yang kedua, saya hanya mau mengatakan bahwa untuk memiliki kecerdasan finansial, ternyata kita harus memiliki komitmen. Pertama komitmen untuk menyisihkan uang sebagai tabungan. Kedua, mengutamakan kebutuhan dan kewajiban terlebih dahulu.
Berbicara tentang komitmen menyisihkan uang, maka bank adalah salah satu sarana yang mampu untuk mewujudkan komitmen tersebut. Dari pada menyimpan uang di dompet dan di bawah bantal yang cenderung mengundang "tangan gatal" untuk segera membelanjakannya. Maka menabung di bank cenderung sangat kuat untuk mengontrol keuangan kita. Tanya kenapa? Karena dengan tabungan kita tidak mudah bisa menjangkaunya, apalagi dengan sengaja kita tidak membuat kartu ATM-nya.
Memang untuk bisa menabung, bukan perkara mudah. Harus ada paradigma yang kuat untuk alasan mengapa harus menabung. Menabung bukan karena kita berlebih, tapi membangun pola hidup disiplin dan mempersiapkan masa depan dengan lebih bijak.
Untuk tulisan saya yang relevan, silahkan baca juga LPS Hadir, Aku Aman, Tenang dan Pasti.
Salam cerdas finansial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H