Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aku Hanyalah Seorang Guru

17 Agustus 2017   18:52 Diperbarui: 24 Agustus 2017   17:14 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya hanyalah seorang guru yang ada di depan kelas, dan mengajar siswa-siswi paling lama tiga tahun. Selebihnya, mereka mengambil jalan masing-masing.

Bagi saya yang terpenting, ketika saya terpanggil menjadi guru, ada tiga hal yang tetap melekat dalam pikiran dan harus saya lakukan.

Pertama, saya harus bisa menjadi teladan bagi siswa-siswiku. Guru harus menjadi model. Sebab seorang guru tidak mungkin bisa jadi panutan bagi siswa-siswinya kalau perilakunya tidak benar. Guru harus berintegritas, melakukan sesuatu sesuai yang diomongkan. Sehingga apa yang diajarkan bisa memiliki kekuatan, bahkan berdampak bagi kehidupan siswa-siswinya. Berat memang. Bagai rumah di atas bukit, semua memandangnya.

Kedua, saya harus bisa menjadi motivator, menggerakan siswa-siswi untuk melakukan hal-hal yang benar, baik dan penting dalam kehidupannya untuk mempersiapkan masa depan mereka.

Ketiga, saya harus bisa menjadi inspirator dan pemberi karsa, untuk membantu mereka menggali potensinya. Agar mereka mensyukuri apa yang Tuhan berikan kepada mereka, mereka menghargainya dan memaksimalkan potensi tersebut untuk memuliakan Tuhan, berbakti bagi bangsa dan bermanfaat bagi sesamanya.

Kalau Ki Hajar Dewantara, mengenal filosofi tersebut dengan sebutan Ing Ngarso Sung Tulodo, Tut Wuri Handayani dan Ing Madya Mangun Karsa.

Saya dalam ketiga hal tersebut, belum sempurna. Tetapi bersedia terus menerus untuk membentuk diri sebagai guru yang sejati. Dua puluh tahun sebagai guru, baik di tempat formal dan nonformal, ternyata belum cukup untuk mengatakan berhenti belajar. Saya harus tetap merendahkan hati. Agar saya tetap bisa mempersembahkan mutiara-mutiara (baca : siswa-siswi) untuk generasi penerus bangsa.

Kalau ditanya sekali lagi, "Sudah berbuat apa untuk Indonesia?"

Saya hanya bisa berkata, saya bangga pernah menjadi guru dan singgah di hati seorang siswiku yang cerdas, baik dan rendah hati, yang sedang mengambil PhD di Groningen Belanda saat ini dan dia pun sering mengisi sebuah rubrik tentang psikologi sebuah media online (kompas.com).

Saya bangga pernah menjadi guru bagi seorang siswi yang telah menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya. Dia merawat anaknya dengan kasih sayang dan tentu sedang menyiapkan generasi penerus bangsa ini.

Itulah kekayaan seorang guru "kebanggaan" akan siswa-siswinya yang sudah menemukan jalan hidup masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun