Di awal tahun 2017, saya sangat tersentuh dengan sebuah video yang telah diunggah di youtube. Bahkan video tersebut telah viral di media sosial. Saya sendiri, untuk pertama kalinya melihat video tersebut melalui fanspage ISP (Info Seputar Presiden) tadi pagi. Video yang saya maksudkan adalah video Presiden Jokowi yang menelpon seorang anak, Neisha, yang berasal dari Sulawesi Utara.
Dalam video sebelumnya (mungkin pembaca pernah menyaksikannya), terlihat Neisha menangis tersedu-sedu ketika tidak bisa bertemu dengan Presiden Jokowi saat melakukan kunjungan kerjanya ke Sulawesi Utara.
Seumur-umur, saya belum pernah melihat hal yang demikian. Apalagi kita tahu, bahwa seorang presiden pasti sangat sibuk, banyak hal yang harus diurusi. Orang pun mungkin berpikir, mana mungkin hal-hal yang demikian bisa terperhatikan oleh seorang presiden. Tetapi kenyataannya beda. Presiden Jokowi malah menyempatkan diri untuk menelepon si anak tersebut dengan tulus.
Beberapa kali saya melihat ada yang berbeda yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap anak-anak. Saya pun teringat dengan seorang anak di pesantren, ketika itu Jokowi meminta anak tersebut menyebutkan tiga nama menteri dalam kabinetnya. Si anak pun menjawabnya, Megawati, Ahok dan Prabowo. Jokowi pun hanya bisa tersenyum dan sesekali ketawa kecil. Bahkan diakhir, presiden pun menyerahkan sebuah sepeda. Kesalahan anak tersebut pun tetap dihargai, tentu dengan harapan si anak tersebut belajar dari kesalahannya.
Sebagai seorang pendidik, saya melihat bahwa seorang Jokowi benar-benar melakukan pendekatan hati terhadap anak-anak. Dia tidak memandang sebelah mata dengan anak-anak. Bahkan, saya yakin kalau Jokowi sungguh-sungguh visioner melihat keberadaan seorang anak, bahwa anak itulah kelak yang akan melanjutkan tongkat estafet dari kepemimpinannya saat ini. Menyayangi anak-anak, sama saja artinya dengan menyelamatkan masa depan bangsa ini.
Sebaliknya, sangat miris melihat berbagai kekerasan dan penindasan terhadap anak, pelecehan seksual hingga eksploitasi terhadap mereka.
Masih segar dalam ingatan kita empat orang anak dibawah usia lima tahun yang sedang bermain di depan Gereja Oikumene menjadi korban pelemparan bom molotov oleh teroris di Samarinda. Tragisnya, salah satu diantaranya, Intan Olivia, harus meregang nyawa setelah menjalani perawatan.
Demikian halnya dengan kejadian baru-baru ini dalam perampokan yang terjadi di Pulomas, dua orang anak yakni Dianita Gemma (9) dan Amelia Callista (10) turut menjadi korban kebiadaban perampok tersebut.
Pada kesempatan tersebut, Ibu Agustina menyatakan bahwa partisipasi masyarakat amat dibutuhkan dalam perlindungan anak. Mengapa? Mengingat bahwa wilayah negara kita begitu luas serta jumlah penduduk mencapai 252 juta jiwa. Bahkan sepertiga dari jumlah tersebut adalah anak-anak dibawah usia 18 tahun. Sementara pemerintah dalam hal ini KPPPA sangat terbatas SDM-nya.
Mengingat begitu besarnya jumlah anak di masyarakat kita, patut seluruh elemen semakin intens membangun kepedulian terhadap anak. Anak patut dilindungi dan dijaga kualitasnya mengingat mereka adalah aset pembangunan bangsa di masa depan. Bukan itu saja, isu tentang anak pun ternyata ada juga di dalam rumah dan sekitar masyarakat. Dengan demikian peran masyarakat begitu strategis dalam hal ini.