Pernahkah kita memikirkan secara serius, bahwa bayi yang baru lahir tahun ini adalah generasi emas bangsa kita. Mereka akan berumur 29 atau 30 tahun ketika negara kita memasuki tahun Indonesia Emas, HUT RI ke-100. Usia demikian biasanya masa memulai karir. Mungkin dari antara mereka, akan ada yang mengabdi sebagai pegawai pemerintahan, berkarir di perusahaan swasta, mengembangkan bisnis atau bidang-bidang lainnya. Perlu kita ketahui bahwa usia tersebut merupakan fase produktif melahirkan karya dan inovasi untuk kemajuan masyarakat dan bangsanya.
Demikian halnya dengan anak-anak yang sedang duduk di bangku SMP dan SMA saat ini. Mereka akan menjadi pemimpin negeri ini. Mungkin ada yang sudah jadi presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, pengusaha, direktur, bahkan anggota dewan. Usia mereka tahun 2045, tentu sudah berkisar 40 hingga 50 tahun. Bandingkan dengan Presiden Jokowi (lahir 1961), sebelum usia 50 tahun sudah menjadi bupati dan gubernur. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan (lahir 1969), Menteri Perdagangan, Thomas Lembong (lahir 1971), Gubernur Ahok (lahir 1966) juga telah memimpin negeri ini di usia yang masih muda, sesuai rentang waktu yang saya sebutkan di atas.
Waktu tidak bisa dibendung. Bayi dan anak-anak sekarang akan tumbuh dan berkembang mengikuti usia mereka. Akan tiba saatnya, tongkat estafet diserahkan kepada mereka. Apakah mereka sanggup membangun negeri ini, menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain dalam kemajuannya? Bagaimana mereka memimpin bangsa ini, akankah mereka mengikuti jejak-jejak koruptor yang berkeliaran di negeri dengan bertopengkan diri sebagai penguasa atau pemimpin?
Jawabannya terletak pada kesiapan generasi ini untuk menghantarkan mereka ke masa depan. Tergantung apa yang kita suguhkan untuk dikonsumsi hati dan pikiran mereka. Perlu disadari, bahwa tidak ada yang otomatis. Mereka tidak sendirinya memiliki kemampuan hebat untuk menggerakan bangsa, memiliki ketrampilan yang luar biasa untuk memimpin negeri. Bahkan tidak dengan sendirinya pula memiliki karakter yang baik dan benar dalam menjalani kehidupannya dalam keluarga, masyarakat dan bangsa. Semua ada prosesnya. Semua itu merupakan hasil pendidikan yang mereka peroleh saat ini. Jikalau pendidikan yang mereka dapatkan benar, niscaya mereka siap menjadi pemimpin yang baik di negeri kelak. Jika salah? Masa depan meraka hancur, negeri ini pun entah bagaimana nasibnya.
Ada yang berbeda
Sejarah telah mencatat bahwa pendidikan merupakan awal dari kemajuan dan kebangkitan bangsa. Manakala pendidikan tidak memadai, ini menjadi peluang bagi bangsa lain untuk menjajah. Bangsa kita sendiri cukup lama terjajah karena pendidikan yang tertinggal. Tetapi ketika anak bangsa mulai terdidik, pendidikan mulai berkembang, gerakan kebangkitan nasional tak terbendung. Gerakan mewujudkan persatuan dan kesatuan tercipta. Dan pada akhirnya  kemerdekaan juga diraih. Mengapa? Dengan pendidikan masyarakat kita sadar sedang dijajah, tahu mana hak dan kewajiban. Haknya untuk merdeka, serta kewajibannya untuk merebut dan membela bangsanya.
Sesungguhnya masyarakat kita pun saat ini sedang terjajah. Terjajah oleh budaya bangsa lain, kemajuan teknologi, uang dan lain sebagainya. Banyak generasi muda makin ramai mengadopsi budaya barat yang tidak sesuasi dengan nilai dan kultur bangsa kita. Teknologi yang semakin maju ternyata melahirkan berbagai kejahatan. Kemajuan internet menjerumuskan generasi muda untuk menikmati pornografi yang memungkinkan merebaknya pemerkosaan saat ini. Uang apalagi, telah menjerumuskan banyak pemimpin, pungusaha ke penjara karena tindakan korupsi. Menurut saya, ini yang menjadi musuh besar kita. Â Budaya asing, kemajuan teknologi dan uang sebenarnya tidak salah. Hanya ada ketidakmampuan untuk memilih dan memilah mana yang harus diambil mana yang tidak. Menurut saya pendidikan tentu akan mampu menjadi alat memerdekakan diri.
Dalam memperingati hari pendidikan tahun ini, menurut saya ada yang berbeda. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah mencanangkan bulan Mei ini sebagai Bulan Pendidikan dan Kebudayaan. Diharapkan ini bisa menjadi sebuah gerakan. Gerakan yang menyatakan bahwa pendidikan tersebut adalah milik dan tanggung jawab semua elemen bangsa. Diharapkan pula gerakan yang mengembalikan kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai-nilai dan karakter dari Pancasila sebagai tujuan utama dari pendidikan nasional. Sesuai dengan tema Hari Pendidikan Nasional tahun ini, yaitu Pendidikan Sebagai Gerakan dan Pertumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila.
Saya yakin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah melihat tantangan yang semakin berat dan semakin bertubi-tubi. Degradasi moral, kehilangan identitas bangsa, melupakan nilai dan kultur yang luhur, telah terjadi. Sementara pemahaman masyarakat terhadap pendidikan masih pada batas prestasi, juara, untuk memperoleh pekerjaan. Sehingga kejujuran mulai digadaikan. Kompetisi tidak sehat terjadi. Bahkan orang tua dan sekolah memaksa anak untuk melahap pelajaran tanpa si anak tahu tujuannya. Apa yang menjadi standar awal pendidikan telah banyak melenceng. Seharusnya pendidikan yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara sebagai sebuah taman, memberikan keindahan, kesejukan dan kenyamanan bermain telah berubah menjadi sebuah jeruji. Amat disayangkan.
Belum lagi pendidikan yang mulai kehilangan identitas. Seyogyanya pendidikan kita adalah pendidikan berdasarkan Pancasila, ternyata dilapangan malah ada yang mulai mengabaikannya. Padahal jelas dikatakan dalam Undang Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pada pasal 1 ayat 2, bahwa Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Untuk itu, kita butuh gerakan semesta, Sesungguhnya pendidikan itu idealnya adalah tanggung jawab bersama. Bukan hanya tanggung jawab pemerintah, sekolah, atau keluarga saja. Tetapi seluruh elemen bangsa. Kalau pemerintah (kemdikbud) berlaku sebagai fasilitator dan platform dalam setiap kegiatan pendidikan dan kebudayaan oleh publik dan komunitas, membuat dan mengatur setiap regulasi. Masyarakat memberikan wadah untuk menerapkan nilai-nilai dan budaya. Sementara keluarga tampil sebagai garda depan untuk menanamkan nilai-nilai dan kultur yang sesuai dengan agama dan budaya bangsa. Sementara media, terutama televisi semakin gencar memberikan tayangan-tayangan yang mendidik dan membangun rasa kebangsaan.