KESAN pertama saat pergi ke Brunei Darussalam, banyaknya migran asal Jawa di negara Kesultanan tersebut. Kalau di Semenanjung Malaysia, sopirnya adalah warga setempat. Tapi bus jurusan Miri-Bandar Seri Begawan, sopir dan kondekturnya adalah orang Jawa.
Sepanjang jalan, mereka asyik bercerita ngalor ngidul dalam bahasa Jawa. Selama dua jam lebih perjalanan, mereka ngobrol segala hal mulai masalah kerja, keluarga di kampung sampai ke masalah pilkada di tanah air. Penumpang tidak perlu mendengar berita di radio, cukup mendengar celotehan mereka, sudah mendapat berbagai informasi menarik dan terkini.
Di Bandar Seri Begawan, ibu kota negara Brunei Darussalam saya berkenalan dengan Sami’un (40 tahun), seorang pekerja bangunan asal Lombok yang mengaku sudah lama merantau ke Brunei. Lelaki asal Narmada, Lombok Barat itu mengajak saya ke kosannya di Kampung Air. Ternyata dia tidak tinggal sendirian, banyak pekerja Indonesia asal Jawa Timur dan Jawa Tengah yang sama-sama perantau. Tetangga rumahnya juga dari Jawa. Ada Sugiyono dan istrinya Sri Rejeki, ada Kusno, Ali Mustafa, dan banyak lagi saya tidak hafal namanya.
Dalam hati saya, orang Jawa ini luar biasa, rajin dan gigih merantau untuk meningkatkan ekonomi keluarganya di kampung. Puluhan bahkan ratusan orang Jawa ngekos di Kampung Air. Sebuah kawasan perkampung di atas air yang banyak rumah-rumah liar milik para migran.
Seperti yang saya tulis dalam artikel sebelumnya, http://www.kompasiana.com/thsalengke/jalan-jalan-ke-tamu-kianggeh-pasti-bertemu-orang-indonesia_58f57799d47a61000811efe1, di semua nadi bisnis di Brunei, ada orang Indonesia. Warung-warung nasi, banyak dimiliki oleh orang Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menunya makanan khas Indonesia seperti ayam penyet, soto, bakso, gado-gado, rawon, dan pecel.
Dalam beberapa kali kunjungan ke Brunei, apabila kita ke masjid Sultan Omar Ali Saefuddin, pasti akan bertemu dengan orang Indonesia terutama yang berasal dari Jawa. Tentu putra-putri Indonesia ahli perminyakan banyak direkrut perusahan minyak yang bertapak di negeri yang terkenal kaya minyak dan gas alam itu.
Di hari perjalanan pulang ke Malaysia, saya menumpang bus lain tetapi dimiliki oleh perusahaan yang sama  dengan bus saat saya datang ke Brunei. Sopir dan kondekturnya berbeda tetapi mereka juga orang Jawa seperti sopir dan kondektur pertama.
Sampai sebuah daerah bernama Sutong, kami berpapasan dengan sebuah bus. Sang sopir berhenti saling tegor, eh sang sopir bicara dalam bahasa Jawa. Artinya sopir angkot itu juga orang Jawa.
Hal yang sama ketika sampai terminal bus Seria, sopirbus  yang saya tumpangi nengor supir bus lain. Piye kabare bro? dengan penuh akrab sang teman menjawab waras. Lalu bercanda panjang lebar selama bus nge-time sekitar 15 menitan.
Ternyata kejadian serupa terjadi lagi saat bus melanjutkan perjalanan ke Kuala Belait. Derah pusat tambang minyak lepas pantai ini sudah dekat dengan perbatasan Malaysia. Di sebuah perhentian, kami berhenti di sebelah bus yang sedang istirahat. Sopir bus itu bersama seorang anaknya berusia 5 tahun sedang bercanda.
Sopir bus yang saya tumpangi lalu negur sopir itu, Mas, piro turunmu? Wah, orang Jawa lagi nih! Ujar saya lirih tanpa seorangpun yang dengar. Kedua sopir itu tampak akrab interaktif berkomunikasi dalam bahasa daerahnya.