Memasuki era reformasi, pola politik tanah air banyak diwarnai dengan adu debat pasangan calon pemimpin daerah atau pemimpin negara. Pihak yang mampu mengemukakan alibi yang enerjik dan memukau massa akan dianggap jago dan menang serta layak menempati posisi terhormat.
Memperdebatkan sesuatu untuk memperlihatkan kemampuan intelektual, kita sudah keliru besar. Jelas-jelas perdebatan bisa memicu konflik dan merupakan interaksi sosial yang bersifat disosiatif.
Lalu apa untungnya debat politik....
Pada hemat saya, istilah jajak pendapat lebih humanis. Di situ setiap peserta berhak memaparkan pandangan berdasarkan visi dan misinya tentang tugas dan tanggung jawab yang sudah atau akan diembankan. Bahkan masing-masing peserta bisa saling mengisi satu sama lain.
Selama ini, debat lebih pada mengadu calon pemimpin. Dalam debat, semua yang dibacarakan seolah-oalah akan terlaksana 100 persen. Padahal setelah berkuasa, apa yang dipaparkan dalam debat dilupakan begitu saja.
Setelah diadakannya debat politik calon gubernur atau calon presiden, masyarakat sibuk mengomentari sisi negatif tentang peserta debat. Secara tidak langsung masyarakat sudah melabelkan dan melemahkan pasangan tertentu.
Tak jarang muncul debat susulan di kalangan masyarakat. Bukan memperdebatkan materi debat jagoannya tetapi yang malah getol diperdebatkan adalah pasangan calon yang dijagokan. Alih-alih berakhir saling benci bahkan terjadi dalam satu keluarga hanya gara-gara beda ideologi politik.
Indonesia membutuhkan kerja nyata. Buka calon yang jago debat di atas pentas.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H