Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengukur Kedewasaan dan Empati Netizen terhadap Korban Bencana Alam Merapi

5 Desember 2023   10:38 Diperbarui: 5 Desember 2023   11:11 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru beberapa langkah kita memasuki akhir tahun 2023, gunung Merapi di Sumatera Barat mengalami erupsi yang memakan belasan korban jiwa dan puluhan lainnya mengalami luka bakar. Tim penaggunalangan bencana daerah setempat melaporkan, bahwa masih belasan orang pendaki lainnya yang belum berhasil ditemukan.

Media online mencatat, bahwa sejak Januari 2023 lalu, gunung dengan ketinggian 2.891 meter di atas permukaan laut tersebut, telah mengalami peningkatan aktivitas erupsi. Selama tahun 2023, dilaporkan telah terjadi 127 kali erupsi. Maka dari itu, status gunung Merapi menjadi Waspada Level II. Oleh karena itu, dilarang keras aktivitas pendakian dan warga di sekitar gunung perlu dievakuasi.

Netizen yang Salah Kaprah

Kemajuan teknologi informasi, memudahkan siapa saja saling berkirim kabar dalam bentuk visual, suara, dan juga tulisan. Sejak erupsi tersebut, tersebar video seorang pendaki yang terjebak dalam debu erupsi Merapi, badannya tertutup penuh lumpur panas, wajahnya juga demikian, sambil berjalan tertatih-tatih berusaha menyampaikan pesan meminta tolong kepada sesiapa yang melihat videonya. 

Tindakan perempuan tersebut sudah sangat benar, tetapi netizen justeru salah kaprah, bukannya hanya menyampaikan video yang hanya untuk konsumsi pihak berwenang, tetapi malah menyebarkannya ke warganet yang karakternya lepas kontrol. Padahal, pada hemat saya, kurang etis kita sebarkan visual kondisi korban kecelakaan, kondisi korban bencana alam, kondisi orang sakit, kondisi bagian tubuh tertentu, tanpa memperhatikan etika-etika jurnalistik.

Memang sulit untuk mengukur tindakan warganet di media sosial dengan etika jurnalistik, karena warganet tidak terikat dengan norma-norma yang tertuang dalam ketentuan jurnalistik. Namun demikian, bukan berarti kita semua bisa bebas begitu saja menyebarkan aib dan kondisi-kondisi yang memilukan. Toh kita sebagai masyarakat yang beragama dan berbudaya, semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan juga empati.

Kejadian memilukan ini, patut kita sikapi dengan bijak dan penuh rasa empati. Sebagai netizen di media sosial, mari kita jaga perasaan keluarga korban, dengan tidak menyebarkan video yang tidak sesuai dipertontonkan ke khalayak ramai. Dalam hal ini, tingkat empati netizen terhadap korban bencana alam sering salah kaprah. Maksudnya baik tetapi salah caranya. Maka hasilnya juga akan jadi fatal.

Coba kita bayangkan pilunya pesaaan orang tua dan sanak saudara korban yang kita lihat berjalan tertatih-tatih dalam video tersebut, tanpa mereka bisa berbuat banyak membantu dalam situasi genting seperti itu. Yang ada hanyalah kepasraan, berharap takdir baik untuknya. Namun bukan juga harus sambil melihat kesengsaraan orang terdekat yang seolah-olah menunggu ajal tiba.

Merapi sebagai Gunung Paling Berbahaya, namun Indah.

Dalam catatan sejarahnya, Merapi disebut sebagai gunung api paling berbahaya. Maklum, telah mengalami hampir 60 kali aktivitas yang bisa dikategorikan sebagai ancaman bencana dalam bentu percikan lava pijar, gempa bumi, suara gemuruh, erupsi, hingga letusan kecil dan besar, sejak tahun 1807 hingga akhir 2023 ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun