Popper mengatakan bahwa knowledge bisa diuji.
HIDUP merupakan kegiatan berpikir dan berpikir merupakan usaha-usaha mencari jawaban obyektif terhadap berbagai pertanyaan yang muncul dalam pikiran manusia tentang fenomena alam yang terjadi. Ketika banyak pihak sangsi akan kebenaran pengetahuan dan kebijaksanaan ilmu pengetahuan, maka filsafat yang disebut sebagai dasar ilmu pengetahuan menjadi harapan menuntun ilmu pengetahuan mencapai tahap kebijaksanaan (wisdom), sehingga kebenaran empiris dapat menghasilkan nilai yang baik serta bermanfaat bagi manusia dan alam.
Disebutkan bahwa Popper menentang kaum positivisme logis dan menjelaskan bahwa hasil dari teori yang diobservasi tanpa melewati serangkaian kegiatan ilmiah, hanyalah bersifat dugaan sementara atas apa yang dirasakan oleh peneliti sesuai fenomena alam. Terkait hal ini, Popper dengan tegas menyampaikan penjelasan bahwa sejatinya tidak ada kebenaran hakiki atau sempurna walaupun telah diuji sekalipun.
Apa yang disampaikan oleh Popper terkait kebenaran yang bersifat sementara, tentu dapat diterima dengan logis, karena kehidupan ini bersifat dinamis dan secara terus menerus menemui perubahan. Artinya jelas akan terjadi perkembangan-perkembangan signifikan selama itu tidak menyangkut keyakinan ilahiyah bersumber wahyu yang jelas tidak terbantahkan lagi. Jadi fenomena ilmu pengetahuan yang bersifat sementara pasti dapat dibuktikan di kemudian hari dengan rumusan masalah dan metode-metode observasi serta pola uji hipotesis yang lebih beragam.
Maka dari itulah Popper berpendapat bahwa sesuatu pengetahuan dikatakan ilmiah, apabila secara konsep teori tersebut “kemungkinan” untuk dikoreksi atau bahkan disangkal. Apa yang digambarkan Popper dapat disimpulan bahwa semua teori akan bisa dikatakan ilmiah bila mana teori dapat dikoreksi, bahkan disangkal kebenarannya untuk selanjutnya diuji dan terus diuji.
Banyak pihak yang menilai bahwa Popper telah mempertegas konsep ilmu pengetahuan yang bisa dan bahkan harus diuji terlebih dahulu untuk bisa dikatakan benar atau mencapai kebijaksanaan dengan ditandai kebermanfaatannya bagi kemaslahatan manusia dan alam. Disebutkan juga bahwa cara melihat teori ilmu pengetahuan yang subyektif, hanya akan menyebabkan kesalahan-kesalahan dalam perkembangan dunia ilmu pengetahuan serta kekeliruan dalam menetapkan teori.
Pencarian ilmu pengetahuan dalam konteks empiris dapat dilihat dalam metode ilmiah yang terdiri atas serangkaian kegiatan berupa: pengenalan dan perumusan masalah, pengumpulan informasi yang relevan, perumusan hipotesis, uji hipotesa atau eksperimen dan publikasi untuk dapat dikaji ulang kembali oleh peneliti-peneliti selanjutnya dalam rangka mencari kebenaran-kebenaran yang lebih tinggi, sesuai dengan situasi perkembangan saat itu. (Samiha & Kunci, 2017).
Kebenaran empiris tidak cukup dengan observasi dan perumusan masalah untuk kemudian ditarik kesimpulan baik induktif maupun dedeuktif. Bahkan Popper tidak berhenti ketika sebuah masalah ditemukan kesimpulan ilmiahnya, tetapi sesuatu itu harus secara terus menerus untuk dikaji serta diuji kebenarannya karena kebenaran saat ini belum tentu kebenaran setahun, sepuluh tahun, atau seratus tahun akan datang.
Terjadinya revolusi ilmiah dalam dunia ilmu pengetahuan merupakan dinamika pengetahuan dan juga peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru. Maka dengan adanya perubahan paradigma inilah cara pandang ilmuwan dalam menentukan masalah, menetapkan metode dan teknik, serta penarikan kesimpulan terhadap fenomena alam yang dikaji senantiasa berbeda-beda dari sebelumnya.
Terdapat dua hal yang sangat mendasari teori Popper, yakni: