Menghadapi si Jago Merah bukanlah perkara biasa, perlu keberanian, keterampilan dan teknik dasar yang baik, agar hasilnya bisa maksimal. Kita maklumi bahwa api kadang memberikan manfaat, namun tak jarang juga merupakan sebuah bencana. Kita semua sepakat ketika api menghanguskan hutan, melalap rumah warga, dan fasilitas umum lainnya akan memerlukan tindakan siaga dan proaktif petugas pemadam kebakaran sebagai bentuk tanggungjawab yang diembankan negara.
Di negara maju, petugas Damkar merupakan profesi yang sangat didambakan. Maklum ketika bencana kebakaran terjadi, para petugas dengan begitu sigap dan berani  menerjang api untuk memastikan tidak ada korban jiwa dan minimnya kerusakan harta benda, terutama berang berharga. Tak heran kalau di benua Amerika dan Eropa, anak-anak sekolah bercita-cita dan mendambakan diri bisa jadi petugas Damkar.
Menangani kebakaran secara profesional harus dilakukan oleh pihak Damkar, karena ditunjang oleh sarana dan juga pengetahuan serta ketereampilan yang baik. Bila hal ini dilakukan oleh masyarakat sipil, bisa jadi akan berakibat fatal, karena kurangnya menguasai teknik dasar menghadapi kebakaran berskala besar. Oleh karena itu, di negara maju atau di negara berkembang yang sistem pengelolaan pemadam kebakaran yang modern, masyarakat sipil tidak ikut andil memadamkan api bila terjadinya kebakaran di kawasan kediaman mereka.
Tulisan ini saya tulis setelah membaca diskusi menarik di WAG Kabupaten Sumbawa Barat. Untuk ukuran petugas Damkar di KSB saya acungkan jempol dengan sikap responsif dan semangat pengabdian yang tinggi kepada masyarakat. Dinas Damkar KSB cukup memahami kondisi aset sosial dan aset fisik yang masih tergolong minim. Oleh karena itu, langkah bijak dan solutif yakni berkolaborasi dengan masyarakat melalui program Relawan Damkar di setiap desa.
Sebenarnya memadam kebakaran adalah tupoksi petugas Damkar, bukan tugas masyarakat umum. Namun sekali lagi, bahwa dengan mempertimbangkan keterbatasan aset sosial dan aset fisik, maka tentu sangat diperlukan strategi kolaborasi dengan masyarakat dengan cara membentuk relawan masyarakat di setiap desa berdasarkan semangat gotong royong.
Berbicara tentang aset sosial, tentu berkaitan dengan petugas yang belum sebanding dengan jumlah masyarakat, jumlah rumah/bangunan, Â keluasan daya jangkau. Untuk mengimbangi hal tersebut, maka aset sosial perlu ditingkatkan dengan cara penambahan petugas atau membentuk relawan sebagaimana yang dicanangkan oleh dinas Damkar KSB.
Bila mencermati paparan diskusi pihak Damkar KSB, nampak jelas bahwa sarana  dan prasarana Damkar di KSB masih sangat terbatas, seperti pos Damkar, dan ketersediaan hydrant di setiap kawasan tertentu baik di kota maupun di desa, termasuk luasnya wilayah yang perlu dijangkau dari titik pos Damkar.Â
Melalui semangat gotong royong dan nilai empati masyarakat yang begitu dalam bahwa keamanan dan keselamatan masyarakat merupakan tanggungjawab bersama, maka penting kolaborasi dinas Damkar dengan masyarakat melalui program relawan Damkar. Intinya penyelesaian masalah perlu memahami situasi dan kondisi wilayah, sehingga penanganan bencana sifatnya situasional.
Contoh sederhana adalah, bila terjadi kebakaran di sebuah rumah warga yang jauh belasan kilometer dari pos Damkar, tidak mungkin anggota masyarakat hanya menonton saja sambil menunggu petugas Damkar datang menyiram api. Warga harus  lebih siaga, karena wargalah yang paling dekat dengan titik api. Tentu saja warga dalam hal ini relawan perlu dibekalkan dengan pengetahuan dan keterampilan serta sarana prasaranan yang memadai.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menyediakan titik saluran air khusus secara maksimal di setiap desa yang hanya boleh digunakan ketika terjadi bencana kebakaran dan dipasang di lokasi strategis yang mudah dijangkau oleh petugas Damkar. Hal yang tak kalah penting pemerinta harus memastikan konsep dasar mitigasi bencana  dapat dipahami oleh masyarakat umum, sehingga dapat mengurangi dampak risiko  dari apa yang terjadi.[]