TUGU BATU setinggi pohon mangrove berdiri kokoh sekali. Ada simbol nuansa alam terpahat indah mengapit peta dan tulisan "The Southernmost Tip of Mainland Asia." Itulah monumen yang dibangun pemerintah Malaysia, di Tanjung Piai, Johor, sebagai tanda ujung selatan daratan benua Asia.
Berada di ujung paling selatan daratan benua Asia, serasa telah mengelilingi satu benua saja. Pada tahun 2007, pertama kali saya pergi ke Tanjung Piai. Sensasi alam di tengah-tengah kawasan mangrove yang luas dengan kicauan burung dan tingkah lucu satwa liar yang hidup dengan damai di sana.
Untuk ke Tanjung Piai, menggunakan kenderaan pribadi dari Kuala Lumpur atau Johor Bahru. Adapun transportasi umum dengan ongkos sangat terjangkau seperti bus, bisa dari Terminal Bersepadu Selatan (TBS) Kuala Lumpur atau melalui Terminal Larkin, Johor Bahru menuju terminal Pontian. Dari daerah Pontian sudah dekat ke Tanjung Piai, bisa menggunakan taksi atau mobil sewa non taxi yang oleh masyarakat setempat disebut "kereta sapu."
Walau bukan pergi untuk rekreasi, tetapi saya menikmati setiap saya ke sana. Ada dua hal yang paling saya sukai, yaitu dapat melihat bagaimana pemerintah Malaysia memelihara pantai melalaui kampanye budidaya mangrove. Selain itu, saya juga bisa mengunjungi museum Bugis sekaligus berinteraksi dengan diaspora Bugis yang sudah puluhan, bahkan ratusan tahun silam sudah menetap di sana.
Di Tanjung Piai dan beberapa daerah lain di negeri Johor, banyak sekali orang-orang suku Bugis yang dulunya bermigrasi dari Selawesi Selatan, kira-kira di zaman kejayaan kerajaan-kerajaan Melayu di sekitar Selat Melaka.
Sultan Johor sendiri merupakan keturunan bangsawan dari kalangan "Urang Ugik," terkenal memiliki cita rasa seni Jawa yang kental, maka tidak heran Sultan Johor mewajibkan stasiun radio di negerinya memutar lagu-lagu keroncong pada jam tertentu setiap malam.
Di daratan paling selatan benua Asia itu juga terdapat diaspora Jawa yang masih sangat memelihara adat istiadat mereka. Setiap hari tetap berbahasa Jawa dan masih mengamalkan tradisi leluhur dalam kehidupan sehari-hari, terutama bila ada acara besar keluarga dan masyarakat. Reog Ponorogo dan Kuda Lumping menjadi ikon hiburan wajib dalam setiap pesta keramaian di kalangan masyarakat Jawa-Johor.
Pola migrasi sebuah masyarakat selalunya berkelompok, menetap di sebuah kawasan dengan ketersediaan sumber pendapatan yang jelas, berkumpul bersama dengan anggota lainnya yang memiliki kesamaan asal usul, kesamaan dialek pertuturan, menjaga dengan baik tradisi yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, dan kematian sebagai identitas tersendiri di tempat yang baru.
Itulah fakta di ujung selatan daratan benua Asia. Diaspora Bugis dan Jawa sangat mewarnai tatanan kehidupan masyarakat setempat.[]
Sekadar berbagi di akhir pekan, semoga bermanfaat.
KL:11072020