"Dunia tidak akan serta merta menjadi gelap hanya gara-gara kita dapat IPK di bawah standar. Terus berusaha menyemangati diri, karena hanya kita sendiri yang bisa menetukan nasib kita dengan berusaha dan berdoa."
MENEMPUH dunia pendidikan memang sangat melelahkan. Bila dihitung, hampir separuh hidup para akademisi berada di dunia pendidikan formal, dari TK, SD, SMP, SMA, S1, S2, dan S3. Hanya nilai dan predikat memuaskan saja yang bisa dijadikan obat penenang penghilang rasa lelah belajar di bangku pendidikan. Beda sekali dengan letih bekerja, karena jelas di akhir bulan ada imbalan materi berupa gaji sebagai hasil jerih payah selama sebulan bekerja.
Terkait nilai kecil di bangku kuliah, memang sangat berpengaruh pada psikologis seorang mahasiswa. Apalagi kalau gara-gara dosen tidak objektif memberikan nilai. Mahasiswa banyak yang sedih dan bahkan putus asah. Beberapa mahasiswa memilih berhenti kuliah. Semua itu adalah pilihan hidup masing-masing.
Kalau pengalaman saya, pertama kali kuliah justru mendapat nilai yang memalukan, indek prestasi komulatif (IPK) di bawah standar. Namun demikian, sama sekali tak membuat saya sedih, apalagi putus asa. Dunia tidak akan serta merta menjadi gelap hanya gara-gara mendapat IPK di bawah standar. Situasi itu membuat saya terpacu untuk membuktikan saya bisa meraih yang lebih baik dan seterusnya lebih baik setiap semester hingga lulus menjadi sarjana.
Sangat disadari bahwah nilai itu merupakan indikator atas kurangnya pemahaman saya akan sistem kuliah yang berjalan, rapuhnya strategi perkuliahan yang saya gunakan, dan pastinya minim sekali usaha untuk mencapai nilai yang menyenangkan. Nampaknya saat itu semuanya mengalir begitu saja tanpa berusaha berjuang menerjang arus yang lebih menantang.
Jadi sudah jelas apa masalahnya. Tentu pasang target menyelamatkan IPK ke batas standar yang ditetapkan kampus. Saya mulai atur strategi menyusun mata kuliah yang akan saya ambil di semester dua dan seterusnya. Tak lupa saya catat di buku harian lengkap beserta target nilai yang ingin saya capai. Target keinginan itu saya barengi dengan usaha dan doa.
Kali ini saya lebih rajin hadir kuliah dan tutorial, semangat menyelesaikan semua tugas berupa (assigment), dan mengikuti ujian dengan baik. Alhamdulillah ternyata membuahkan hasil yang menggembirakan. IPK tidak lagi menyedihkan, bahkan sudah bisa membuat saya tersenyum tiap kali menatap transkrip nilai. Semua itu tambah menyemangati saya untuk mencapai prestasi yang lebih baik lagi.
Setiap semester senantiasa saya tulis target nilai yang saya inginkan dari setiap mata kuliah. Saya mengatur strategi belajar sesuai bobot dan jenis mata kuliah yang saya ambil saat itu. Hasilnya sangat membanggakan dan tentu bisa diterapkan bagi mahasiswa yang mengalami nasib sama dengan saya di awal masa perkuliahan jenjang strata satu (S1).
Saya bersyukur, walaupun tidak lulus dengan predikat Cum Laude, tetapi saya tidak juga lulus dengan predikat pas-pasan. Lebih bersyukur lagi karena saya masih bernasib baik karena belasan mahasiswa seangkatan dari Indonesia mengalami drop out di tengah-tengah masa kuliah.
Pengalaman tidak enak di jenjang strata satu itu, benar-benar menjadi pelajaran berharga agar tidak terulang kembali saat memulai pendidikan di jenjang-jenjang selanjutnya. Terbukti setiap semester pertama di dua jenjang pendidikan berikutnya hampir mendapat IPK sempurna.