Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mengutip Koin demi Sebungkus Nasi

10 Juli 2020   08:39 Diperbarui: 10 Juli 2020   22:38 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MERANTAU ke negeri orang untuk kuliah sambil kerja, merupakan keputusan yang penuh konsekuensi. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dengan matang, seperti biaya hidup, biaya kuliah, lokasi tempat tinggal, dan tentunya kerja apa yang bisa menutupi semua kebutuhan sehari-hari.

Pada tahun 2000 saya memutuskan untuk merantau ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Tujuannya bukan utnuk gaya-gaya kuliah ke luar negeri, melainkan agar saya bisa belajar lebih mandiri. Saya memutuskan untuk tidak akan meminta uang kepada orang tua, saya bertekad bekerja keras memenuhi kebutuhan kuliah dan segala kebutuhan lainnya. 

Saya diterima di sebuah perguruan tinggi bergengsi di negeri jiran. Selama kuliah saya tidak sibuk mencari beasiswa. Hanya beberapa kali saya ikut serta menjadi tim pembantu peneliti di kampus dengan imbalan per bulan bisa untuk melunasi uang kuliah satu semester.

Saya juga sibuk kerja sebagai guru privat di beberapa rumah orang Malaysia, kerja di kios foto copy dan pada hari tertentu saya bekerja di rumah makan. Saya sangat suka bekerja di rumah makan karena bisa makan gratis dan juga boleh membungkus makanan untuk makan malam.

Bekerja sambil kuliah segalanya tidak bisa maksimal, demikian juga hasilnya tentu tidak seperti diharapkan. Semua harus dijalani dengan penuh syukur. Pada saat gajian, alhamdulillah banyak yang bisa dipenuhi, bahkan bisa sedikit menabung untuk keperluan kuliah. Ceritanya akan berbeda di tanggal tua, harus irit agar keuangan bisa cukup sampai waktu gajian kembali.

Selama kuliah, saya masih ingat pernah dua kali kesulitan makan siang. Uang di dompet benar-benar cukup untuk membeli sepiring nasi. Jadi untuk makan siang saat itu saya harus mengutip koin yang tergeletak di sekitar meja belajar. Saya kutip satu per satu di rak buku, di bawah monitor komputer dan di kantong ransel supaya bisa cukup untuk ke kantin kampus.

Di kala sore, saya sering membeli nasi goreng murah untuk persediaan bekal makan malam bila terasa lapar ketika sibuk mengerjakan tugas kuliah. Harganya sangat murah, yaitu RM 1.20 cen (sekitar Rp. 4,000 per bungkus).

Kondisi seperti itu tidak pernah saya keluhkan, tak juga membuat saya harus meminta kepada orang tua. Saya sangat senang dan menikmati hari-hari di perantauan. Justru kekurangan itu membuat saya semakin terpacu dalam bekerja dan menuntut ilmu hingga satu saat berhasil wisuda bersama teman-teman kuliah lainnya. Saya juga memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan pola yang sama--kuliah sambil bekerja.[]

Sekadar berbagi, semoga bermanfaat.

KL: 10072020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun