Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tranformasi Konsep Beragama Masyarakat Seloto

8 Juli 2019   20:35 Diperbarui: 8 Juli 2019   21:00 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila dilihat dari letak geografis Seloto yang terisolir dari hiruk pikuk kehidupan masyarakat kota Taliwang dan daerah sekitarnya, Seloto sangat berpotensi menjadi desa yang aman tenteram. Masyarakatnya terkenal sangat tekun menuntut ilmu agama dan juga suka akan ilmu-ilmu umum seperti layaknya masyarakat kontemporer lainya yang sudah maju dan berkembang dengan ilmu pengetahuan.

Dalam konsep beragama, masyarakat Seloto telah mengalami transpormasi yang cukup signifikan. Bisa dikatakan dari cara beragama yang kolot penuh takayul hingga konsep beragama yang moderat. Pada tahun 1970-an, masyarakat Seloto masih banyak yang mengamalkan amalan khurafat yang masih percaya dengan hal-hal mistis. Salah satu contoh amalan membayar nazar ke kuburan dan juga tempat tertentu yang dianggap keramat. Memasuki tahun 1980, perilaku yang dinilai khurafat sedikit demi sedikit dihapus dan mulai mengamalkan nilai-nilai hidup sesuai garis panduan agama.

Dalam konteks desa, Seloto bisa dikatakan cukup maju, khususnya dalam konsep beragama dan bermasyarakat. Penduduknya senantiasa diedukasi agar tidak ketinggalan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sekarang sedang bermasyarakat program "Seloto Mengaji" yang tujuannya memastikan semua masyarakatnya bisa membaca kitab suci al-Qur'an dengan baik. Yang mengikuti program ini adalah semua tingkat umur, yakni tua muda.

Masyarakat di Seloto dibangun dalam situasi kebersamaan dan nilai empati yang tinggi. Yang selalu saya saksikan ketika ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal dunia, maka penduduknya akan meninggalkan pekerjaan berbondong-bondong melayat sambil membawa "parenok" atau bahan makanan seperti beras, gula, garam, bahkan uang ntuk keperluan keluarga yang ditinggalkan. Yang lelaki akan berebut menggali kubur dan mensolatkan jenazah serta mengiring jenazah hingga ke pemakaman. 

Kebersamaan sedemikian rupa juga sangat terasa saat adanya hajat walimatul ursy. Mulai perencanaan akan diadakan rapat keluarga yang akan diikuti oleh tetangga, sahabat dan keluarga. Dalam rapat tersebut semua yang diundang pasti membawa "panulung" atau bantuan yang bisa berupa uang atau apa saja yang bisa diberikan untuk meringankan beban tuan pemilik hajat.

Perilaku keseharian masyarakat di Seloto masih sangat kental dengan semangat gotong royong. Bila diamati bahwa pergeseran nilai-nilai sosial juga terjadi akibat modernisasi dan pesatnya arus informasi. Namun kuatnya pegangan masyarakat terjadap nilai-nilai agama dan bermasyarakat membuat semua tetap terjaga dengan baik.[]

Sekadar berbagi dari Indonesia Timur.

KL: 08072019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun