Ketika memasuki bulan suci Ramadan, berbagai tradisi menghiasi perilaku masyarakat di Indonesia dan juga di negara-negara lain di dunia. Apalagi ketika memasuki 10 hari terakhir Ramadan, kegiatan masyarakat mulai sangat beragam. Ada yang ibadahnya mulai kendor, banyak yang sibuk dengan membuat kue dan menghias rumah serta mempersiapkan baju lebaran, ada yang sudah mudik ke kampung, namun tetap masih banyak yang meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah baik di waktu siang maupun di malam hari.
Pada 10 malam terakhir yang di dalamnya terdapat keampunan dan pembebasan dari api neraka merupakan fase klimaks sebuah harapan seorang hamba kepada Tuhannya. Lebih menarik lagi, dalam 10 malam terakhir juga turunnya "Lailatul Qadar" yang apabila memperolehnya, nilainya sama dengan beribadah atau melakukan kebaikan selama 1000 bulan.
Lailatu qadar yang kupahami sekarang dan cerita yang kudengar masa kecil dulu begitu jauh berbeda seiring perkembangan pola pikir dan kedewasaan dalam menalar firman Tuhan yang memang semestinya untuk dipikirkan.
Cerita Lailatur Qadar Sewaktu Kecilku
Teman sebayaku bercerita bahwa lailatul qadar itu malam turunnya hal-hal aneh yang harus kita kejar dan meraihnya.Â
Beberapa hal aneh yang dijadikan acuan telah turunnya lailatul qadar seperti dalam cerita teman sepermainanku sewaktu kecil adalah sbb:
Pertama, munculnya cahaya di kuburan. Cahaya itu harus didekati dan kalau ada sesuatu benda maka beruntunglah sekiranya bisa mengambilnya. Sepertinya mungkin suatu ketika pernah ada yang iseng membawa lampu ke area pekuburan pada 10 malam terakhir Ramadan sehingga masyarakat menganggap bahwa itulah tanda turunnya lailatul qadar.
Kedua, ada keranda terbang. Menurut temanku, di malam lailatul qadar akan ada keranda yang terang benderang terbang melintasi kampung. Barang siapa yang bisa menangkapnya maka dia berhasil mendapat lailatul qadar.
Ketiga, air di tempayan beku. Hal aneh yang lain sebagai tanda turunnya lailatul qadar diceritakan air di dalam tempayan akan sangat dingin dan beku. Sengaja malam-malam saya sering memasukkan tangan ke air di tempayan tetapi tak kunjung beku.
Cerita-cerita tersebut di atas yang sering kudengar dari teman sepermainanku dan bahkan dari orang-orang tua di kampungku penuh tahayul dan dikarang-karang. Mensikapi cerita tersebut, banyak juga orang-orang berjaga di malam hari, bukan itikaf di masjid tetapi malah melakukan amalan khurafat yang jelas menyeleweng dari konsep dan pengertian hakiki malam lailatul qadar dan bagaimana mendapatkannya.
***