Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Ada "Bohong Sunnah"?

15 Maret 2018   11:50 Diperbarui: 15 Maret 2018   21:24 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kehidupan dunia yang dikatakan bak patamorgana bukanlah kata-kata yang tak mendasar. Gelamor kehidupan ini, membuat manusia lengah dan terpedaya dengan sikap sesamanya yang penuh kepura-puraan. Pembohongan, saling memanfaatkan, dan menzalimi orang lain merupakan sebuah kenistaan yang memalukan. 

Sederhananya, mungkin tidak ada seorang pun yang tidak pernah berkata atau bersikap bohong. Untuk itu, kata maaf dan memohon maaf dengan menyadari kesalahan kepada sesama, harus senantiasa diamalkan oleh siapa pun dalam hidup di alam persinggahan ini.

Pembohongan dan kepura-puraan sering terjadi dalam dunia kerja. Tidak sedikit staf sebuah instansi pemerintah dan swasta yang sanggup berpura-pura demi menjaga nama baik di depan atasan untuk mengamankan posisi yang disandangnya. Demikian juga dalam hidup bermasyarakat, seperti dengan teman, pasangan, musuh, rekan bisnis, kolega kerja, dan lain sebagainya sering diwarnai dengan kepura-puraan.

Orang-orang tua dulu sering menyebutkan istilah "bohong sunnah." Maksudnya sikap berbohong yang dilakukan untuk menjaga dan menyelamatkan situasi yang bisa memudaratkan kemaslahatan bersama. Hal ini mungkin masih bisa dimaklumi walau tetap dipertanyakan karena berbohong tetaplah sebuah kenistaan.

Masalahnya, bagaimana dengan pembohongan dan kepura-puraan yang dilakukan dalam situasi yang tidak memudaratkan? Artinya sikap dan perilaku tersebut berlangsung dalam waktu lama dan situasi yang normal-normal saja. Contoh kasus, sesorang yang berperilaku manis di depan tetapi berbeda ketika di belakang, berbicara lain di depan namun lain pula cerita di belakang.

Sebuah buku berjudul "Bohong di Dunia" yang ditulis oleh HAMKA mungkin bisa menjawab kemusykilan ini. Hamka menjelaskan tentang penilaian agama-agama samawi tentang "bohong" yang diizinkan berdasarkan ilmu kejiwaan dengan memaparkan pendapat-pendapat para filsuf terkenal seperti Aristoteles, J.J. Rosseau, dan Stanly Hall dalam filsafat bohong.

Pada hemat saya, pembohongan dan pura-pura merupakan sikap yang tidak laik untuk dipelihara walau apa pun alasanya. Sekali lagi, pembohongan dan kepura-puraan tetaplah sebuah kenistaan karena akan merugikan orang lain dengan sikap keberpura-puraan itu. (*)

KL:15032018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun