Dari ketinggian 28 ribu kaki di atas permukaan laut, pesawat OD316 yang kutumpangi melewati Selat Melaka, Senin (19/6). Cuaca siang itu baik dan cerah, sejenak kumelongok ke luar jendela, tampak gundukan tanah yang disisinya melingkar pantai panjang nan indah berwarna putih. “Pulau Rupat,” gumamku dalam hati. Cepat-cepat kuraih ponsel lalu menjepretnya.
Ada yang menarik yang pernah kutemui di daerah ini. Tepatnya 12 tahun yang silam saat berkesempatan ke sana, kuterserempak dengan beberapa bocah sekolahan yang sedang berlarian, bermain sesama temannya di sebuah gang kecil.
“Dik…siapa namamu?” sapaku berusaha akrab kepada salah seorang bocah bernama Ahmad yang mengaku duduk di kelas 3 SD sebuah sekolah di Rupat Utara. Kulanjutkan lagi ke-kepoan-ku yang saat itu memang memaksaku untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana pengetahuan tentang ke-Indonesia-an dimata anak-anak kecil Pulau Rupat.
“Kamu hafal Pancasila tidak?” Tatapan matanya kepadaku nampak sigap seperti seakan ingin cepat menjawab.
“Hafal” Kepolosannya membuatku sedikit merasa tak kuasa menahan tawa. Tanpa dikomando lagi Bocah itu menyebutkan satu persatu secara berurutan.
“Bagus…bagus sekali…wah hebat ya kamu...” pujiku sambil mengusap pundaknya. Temannya yang lain pun melihatnya dengan decak kekaguman.
Bocah dengan gigi yang tidak rata itu “nyengir” karena mendapat pujian dariku dan teman-teman sepermainannya.
“Siapa yang tahu Pancasila itu apa?” kini semuanya saling pandang. Hampit 1 menit aku menunggu jawaban darinya. Dia hanya berpagut pada pandangan teman-temanya yang lain. Mereka masih bungkam mencari-cari apa yang bisa dijadikan jawaban atas pertanyaanku.
“Teeeeeet…” mulutku seakan menjadi batas waktu untuk kesempatan mereka berfikir. Time’s up gumamku. Okay, poin ini mereka tidak bisa memberikan jawaban, aku akan coba mengajukan pertanyaan lainnya.
“Kalian tahu siapa Presiden Indonesia?” pertanyaanku tidak lagi khusus untuk bocah itu, mungkin karena rasa kecewaku akibat pertanyaan ketiga yang tidak dapat dijawab. Ada harapan dimata mereka untuk menjawab. Kulihat ada api yang membara mengikut semangat nasionalisme dalam diri mereka.
“Tahu” Mereka menjawab lantang sekali, seakan memang hanya itu yang mereka ketahui. Tapi sayang punya sayang, bukanlah nama Presiden Indonesia yang mereka sebut melainkan malah nama Perdana Menteri Malaysia yang mereka alukan kepadaku. Kulempar senyum kepuasan pada mereka yang mereka tak sedikitpun mampu membaca bahwa aku sedang kecewa berat.