"Jualan Jimat”...Tulisan besar berwarna merah cerah itu tertera diatas spanduk putih berukuran 3x6 meter di dinding sebuah plaza di kota Johor Bahru. Tak ada seorang pun yang tidak melepaskan pandangan ketika melewati spanduk yang warnanya cukup kontras itu. Tidak hanya berhenti sampai disitu, tulisan “Jualan Jimat” lain pun menempel di dinding tempat-tempat perbelanjaan lainnya.
Kerumunan warga akan terlihat disetiap tempat perbelanjaan yang di dindingnya bertuliskan “Jualan Jimat”. Begitulah suasana yang terlihat menjelang perayaan hari-hari besar di negeri jiran Malaysia.
Rekan saya dari Jakarta yang baru-baru ini berkunjung ke Malaysia rupanya memperhatikan kalimat itu. “Di sini banyak yang jual jimat ya, Mas?”, tanyanya sambil memelototi beberapa spanduk yang terpampang di pusat-pusat pertokoan yang nada tulisannya hampir sama.
“Negaranya sudah serba modern, teratur, bersih. Masyarakatnya juga sudah cukup berpendidikan, santun dan disiplin. Tapi kok masih banyak yang jual-jual jimat ya?”, gumam sang kawan.
Saya terdiam dan hanya tersenyum sambil sesekali melihat dia yang sibuk memperhatikan suasana keramaian kota Johor Bahru yang perkembangan ekonominnya cukup pesat.
“Malaysia itu bisa maju dan berkembang pesat karena warganya mengamalkan jimat”, seloroh saya. Ternyata jawaban saya itu membuatnya makin penasaran.
“Bagaimana mungkin sebuah negara bisa maju karena jualan jimat, Mas. Mas tahu kan, menggunakan jimat itu sama dengan syirik, dosa besar?..Apa iya negara yang dijuluki the Truly Asia ini besarnya karena jimat?” ungkapnya sambil sedikit berkhotbah.
Saya kembali terdiam dan hanya tersenyum mendengarkan paparannya.
Jarum jam menunjukkan pukul 10:00 malam, betis sudah terasa pegal karena berjalan di sepanjang pertokoan, perut terasa lapar dan mulai bersuara menagih jatah. Akhirnya kami berhenti di lorong jalan dekat pusat perbelanjaan City Square. Suasananya cukup ramai, gerai-gerai menjual berbagai jenis masakan dan minuman ringan berderet rapih. Hampir semua kursi sudah terisi pengunjung yang kebanyakan berasal dari negara tetangga Singapura yang datang menikmati sup tulang ala Pakistan yang tersohor di daerah ini.
Kami kemudian memilih tempat duduk paling pojok agar bisa melihat-lihat dengan leluasa dan tidak terkesan seperti rusa masuk kampung yang matanya liar kesana kemari. Kepada pemilik gerai makan, kami memesan sup tulang dan jus belimbing.
Lagi-lagi, di salah satu gerai makan ada spanduk kecil bertuliskan “Makan dan Minum Jimat”.