Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Ada Konflik Antara Transportasi Online dan Konvensional?

21 Maret 2017   09:30 Diperbarui: 21 Maret 2017   09:52 3171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miris sekali mendengar berita tawuran dan pengeroyokan terhadap pengemudi taksi online seperti grab, uber dan gojek, kejadian penumpang dipaksa turun dari grab car, kaca mobil dipecahkan warga, pemilik grab bike, uber dan gojek dianiaya di tengah umum, hingga masalah ketakutan pemilik transportasi online mengambil penumpang berdekatan dengan pangkalan ojek konvensional.

Seiring berkembangnya sistem informasi dan telekomunikasi yang semakin canggih, membuat gaya hidup masyarakat kota, bahkan sampai ke desa juga semakin modern. Gaya hidup masyarakat kian beralih dari pola konvesional kepada modern, sehingga muncullah sistem belanja online, transportasi online, surat elektronik dan sebagainya.

Dalam masyarakat yang jurang ekonominya cukup dalam, akan terlihat ketimpangan sosial yang mencolok antara masyarakat yang mampu dan kurang mampu. Tentu tidak semua bisa mengikuti gaya hidup modern, ada kelompok yang terpaksa bertahan hidup dengan tradisi lama. Dari sinilah titik singgung potensi konflik komunal di tengah masyarakat selama ini.

Alih-alih benang merahnya pemerataan ekonomi dan upaya kesejahteraan masyarakat. Ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja yang cukup dan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk, serta masih maraknya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme di instansi pemerintahan dan swasta, lebih memperkuat ego sektoral dalam tatanan bermasyarakat dan bernegara.

Lantas bagaimana dengan konflik yang sering terjadi di beberapa daerah antara penyedia jasa transportasi online dan konvensional?

Pada hemat saya, Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Perhubungan telah melakukan upaya solutif dengan menerbitkan payung hukum yang mengatur tata kelola transportasi online. Peraturan Menteri No.32 Tahun 2016 tertanggal 1 April 2016 merupakan legalitas yang harus kita hormati dan sikapi secara positif.

Namun demikian, pemerintah juga harus memikirkan aturan-aturan bagi penyedia jasa konvensional supaya mereka tidak merasa dianaktirikan dan dibiarkan begitu saja bersaing dalam suasana yang tidak kondusif. Bagaimapaun mereka perlu makan dan mencukupi kebutuhan keluarganya.

Pelaku penyedia jasa konvensional juga harus lebih realistis melihat pasar konsumen yang semakin maju. Zaman sudah berubah dimana sistem hidup sudah lebih praktis. sebaiknya disikapi dengan baik dan cepat menyesuaikan diri sesuai keperluan konsumen. Karena kalau lambat, akibatnya akan semakin tertinggal jauh di belakang.

Konsumen pastinya memilih yang paktis, aman, dan nyaman. Apalagi biayanya jauh lebih murah. Anak kecilpun tau harus pilih yang mana.

Kelompok tertentu tidak bisa mempermasalahkan sistem yang lebih baik apalagi mempertahankan tradisi lama karena manusia akan senantiasa berkembang menuju satu titik tertentu. Perubahan itu sendiri merupakan sebuah keharusan yang sifatnya mutlak.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun