Kehadiran teknologi komunikasi yang semakin berkembang setiap tahunnya mengubah kebiasaan masyarakat dalam mencari informasi. Jika dahulu masyarakat mengakses informasi harus membeli koran atau lewat televisi, sekarang akses yang didapatkan jauh lebih mudah. Masyarakat hanya memerlukan internet dan alat kecil yaitu smartphone yang dapat dibawa kemana saja sudah mendapatkan informasi dari mana saja. Bahkan jauh lebih cepat dan masyarakat bisa langsung melakukan komentar terhadap informasi tersebut.
Media baru yang sekarang banyak digunakan adalah media sosial. Maka dari itu, banyak media informasi yang berpindah ke media sosial. Berdasarkan laporan We Are Social, Indonesia memiliki jumlah 167 juta pengguna aktif media sosial per Januari 2023 (Widi, 2023). Â Laporan lain dari We Are Social (Mustahab, 2023) menunjukkan media sosial yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia per Januari 2023 yaitu:
- WhatsApp dengan presentase 92,1%
- Instagram dengan presentase 86,5%
- Facebook dengan presentase 83,6%
- TikTok dengan presentase 70,8%
- Telegram dengan presentase 64,3%
- Twitter dengan presentase 60,2%
Westlund (2008) melakukan penelitian mengenai teknlogi smartphone dan jurnalisme. Menurut Westlund perubahan smartphone dari komunikasi berbasis suara dan teks menjadi perangkat multimedia. Smartphone menjadi media tambahan dari media berita lainnya (Puspita & Suciati, 2020). Pada tahun 2013, Westlund kembali melakukan penelitian terkait seluler, multimedia, dan jurnalisme. Westlund menggunakan istilah mobile news dengan melihat perkembangan teknologi smartphone mampu mengakses berita bahkan memproduksi konten jurnalistik di aplikasi dan situs secara mobile.
Transformasi jurnalisme pada era digital menciptakan pandangan baru terhadap kegiatan jurnalistik. Masyarakat saat ini mampu mempunyai peran sebagai produsen informasi. Dengan begitu segala bentuk produksi pesan yang dilakukan oleh masyarakat dapat dikatakan sebagai seorang jurnalis. Walaupun realitanya tidak semua mempunyai keahlian secara professional sebagai jurnalis tetapi fenomena ini disebut sebagai jurnalisme warga. Â
Adornato (2017) mengatakan bahwa bagian penting dari lanskap berita mampu berkembang berasal dari konsumsi audiens. Perangkat mobile dan media sosial membuat perubahan mendasar dalam konsumsi berita. Smartphone saat ini menjadi alat dominan dalam mengonsumsi berita atau bahkan mampu melakukan produksi berita. Maka dari itu, kemudahan tersebut menciptakan pengembangan baru terhadap dunia jurnalisme. Siapapun mampu menjadi seorang creator dalam membuat konten lewat akun pribadi mereka di media sosial.
Media sosial memiliki kelebihan untuk menarik pembaca sehingga mampu meningkatkan engagement yang tinggi melalui respon dengan berbagai cara. Audiens mampu memberikan komentar dan membagikan ke berbagai platform lain miliknya. Media sosial mempunyai fungsi lain yaitu sebagai sumber berita dan media untuk melaporkan atau mendistribusikan berita (Puspita & Suciati, 2020). Kehadiran media sosial telah dinormalisasikan dalam fungsi jurnalistik dan bagaimana khalayak mengonsumsi berita (Broersma dan Eldridge, 2019).
Maka dari itu, perkembangan media sosial menghadirkan seorang content creator. Melalui penelitian yang dilakuka oleh Banjac & Hanusch (2020) pada mulanya seorang content creator hanya melakukan blog pribadi atau memposting kehidupannya (lifestyle) lewat media sosial. Namun, karena audiens merasa kehidupan seorang content creator sangat unik atau mampu menginspirasi pada akhirnya pengikutnya menjadi banyak. Hal tersebut dijadikan kesempatan content creator sebagai tempat penghasil uang. Banyak sponsor yang membuat dirinya melakukan iklan produk lewat media sosial pribadinya. Alih-alih pengikutnya dijadikan sebagai konsumen oleh content creator.
Namun, hal tersebut tidak menjadi permasalahan bagi audiens ketika pembuat konten memenuhi tiga ekspektasi audiens yaitu keaslian dan transparansi, keterlibatan yang tulus dengan pengguna, dan penyediaan konten yang berkualitas dengan cepat dan konsisten (Banjac & Hanusch, 2020). Content creator mampu menunjukkan kehidupan aslinya secara transparan. Rasa keingintahuan audiens terhadap kehidupan sehari-hari content creator menjadi alasan audiens mengikuti kontennya. Selain itu, mampu mengenalkan sponsor secara jujur dan memberikan alasan terhadap motivasi yang ditunjukkan untuk berkolaborasi dengan produk sponsor tersebut.
Hasil penelitian Bnajac dan Hanusch (2020) audiens merasa bahwa sekarang jurnalis semakin sering memposting segala sesuatu yang tidak masuk akal. Dengan banyaknya pesaing konten di media sosial untuk mendapatkan engagement, jurnalisme terlihat berorientasi pada pasar dan hilangnya otonomi berkaitan dengan alasan utama mengapa audiens mengharapkan keaslian, keterlibatan, dan konten berkualitas