Lebaran sebentar lagi. Umat Islam mulai mengepak bekal menyambut idul fitri – sebuah hari raya yang sering disebut sebagai hari kemenangan atau hari pembebasan. Pertanyaannya, kemenangan dari apa? Bebas dari apa? Dari Ramadhan? Apakah Ramadhan adalah musuh? Apakah ia adalah belenggu? Ough!
Jujur saja, sedari dulu saya terusik dengan penggunaan istilah hari kemenangan. Siapa sih yang memulai penggunaannya. Kok tega yah? Lho, lho, tega bagaimana maklud su? Hehe…
Begini. Secara bahasa, Idul Fitri itu berasal dari dua kata; ‘id dan al-fitri. ‘Id berasal dari kata ‘aada yang artinya kembali atau kebiasaan. Hari raya disebut ‘id karena terjadi berulang-ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan. Adapun kata fitri memiliki akar kata afthara yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. Jadi secara bahasa, sama sekali tidak ada unsur ‘kemenangan dan pembebasan’ di dalamnya. Yang ada adalah ‘berbuka’. Dengan demikian, arti hari raya Idul Fitri itu adalah ‘Taraaaa, saatnya kita berbuka!’ :))
Namun oh namun, banyak dari kita yang kemudian berlebih-lebihan dalam ‘berbuka’. Banyak dari kita yang kemudian menjadikan Idul Fitri sebagai ‘pesta’ berakhirnya bulan puasa. Banyak dari kita yang kemudian ‘memuliakan perut’ sampai kenyang bego. Banyak dari kita yang kemudian menjadikan Idul Fitri sebagai hari raya model profan yang berorientasi mammonisme*; bagi mereka, lebaran adalah hari pamer kekayaan dan unsur-unsur yang membungkusnya, serta larut dalam konsumerisme.
Saya membayangkan, alangkah akan lebih indahnya jika kita menjadikan Idul Fitri sebagai pintu gerbang humanisme setelah sebulan penuh kita berpuasa. Sebagaimana kita tahu, tujuan berpuasa Ramadhan adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa (QS. 2:183). Sedangkan pengertian takwa, menurut Rasululan Saw, adalah "Patuh kepada Allah dan tidak mengingkari perintah-Nya, senantiasa mengingat Allah dan tidak melupakanNya, bersyukur kepada Allah dan tidak mengingkari nikmat-nikmatNya" (HR. Bukhari Muslim).
Sepintas, tujuan berpuasa Ramadhan adalah hanya untuk Allah. Kepatuhan, dzikr, dan syukur, semua itu untuk Allah. Lalu, mana bagian untuk manusia? Mari kita tengok lebih dalam. Apakah orang yang bertakwa - sebenar-benarnya takwa, bukan artifisial - akan berbuat onar atau merugikan orang lain? Apakah orang yang senantiasa mengingat Allah akan berbuat jahat kepada sesama? Apakah orang yang senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah akan bertindak pelit dan masa bodoh dengan orang lain? Rasa-rasanya kok tidak ya...
Allah sebenarnya sudah ngasih kode lho agar menjadikan Idul Fitri sebagai pintu gerbang humanisme. Yaitu melalui kewajiban mendermakan harta alias berzakat (zakat fitrah) setelah kita tunai berpuasa sebulan penuh. Itu artinya, setelah kita melakoni perjalanan ruhani demi menjadi insan yang bertakwa, kita kemudian dikembalikan lagi oleh Allah ke 'fitrah' kita yaitu sebagai bagian dari masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, sudah semestinya kita menjalani peran baik (sebagai implementasi ketakwaan kepada Allah) yaitu dengan menjalankan persaudaraan (al-ikha'), toleransi (tasammuh), dan adil (al-adalaah).
Jika demikian, Idul Fitri kita tidak akan dipimpin oleh mammonisme, namun dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan demi kemaslahatan umat manusia. Selamat menjelang Idul Fitri.
Wallahu alam.
Jakarta, 29 Juni 2016
---