Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Dilema Ambassador

20 Mei 2016   20:49 Diperbarui: 20 Mei 2016   21:02 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Tahu Goreng - siapa tahu ada yang belum tahu. Diambil dari id.openrice.com

Ok. Kali ini aku ingin menulis tentang sesuatu yang baru-baru ini jadi perbincangan di media sosial. Ambassador. Bukan, bukan mall di jalan Casablanca itu, tapi ambassador yang kumaksud di sini adalah perwakilan sebuah brand atau apa pun itu.

Kalau Anda - ah, kok kesannya formal yah? padahal aku di sini kan mau ngajak ngobrol teman-teman. So, ijinkan aku memanggil Anda dengan 'kamu'. Semoga nggak keberatan. Kalau keberatan, berarti kamu butuh diet!

Ok, lanjut!

Kalau kamu menjadi ambassador dari sesuatu yang tidak kamu gunakan, atau lebih parah lagi tidak kamu sukai, atau lebih parahnya lagi tidak kamu kenal, maka kamu harus mempersiapkan diri untuk dua hal:

  1. Munafik. Kedengarannya kasar yah? Ok, kalau begitu aku coba perhalus pakai bahasa bisnis menjadi.. err.. 'profesional' hehe... Karena sebagai ambassador, kamu -mau gak mau harus mau- harus memuji sesuatu yang tidak pernah kamu gunakan atau tidak kamu sukai atau lebih parah lagi tidak kamu kenal. Kalau bukan munafik itu apa namanya coba??
  2. Hidup sebagai orang lain. Sebenarnya masih perpanjangan dari munafik sih, tapi biar ulasannya menjadi lebih panjang maka aku jadikan kategori kedua. Pada kategori ini kalau kamu merasa yakin atau kepingin terasosiasi dengan sesuatu tetapi tuntutan rejeki mengharuskanmu terasosiasi dengan sesuatu yang lain ya mau nggak mau kamu harus menjadi sesuatu yang lain. Setidaknya selama masa kontrak berlangsung. Atau, selama kamu tidak ingin kontraknya diputus or rejekimu diputus tus tus tus tus...

Mau contoh? nggak perlu lah yah? Kan lagi rame tuh di lapangan. Siapa hayo???

Kalau begitu, pertanyaannya, retoris tapi, mengapa orang mau menjadi munafik dan hidup sebagai orang lain? Pertanyaan berikutnya, nah kalau yang ini tidak retoris, berapa harga yang bersedia diterima seseorang untuk menjadi munafik dan hidup sebagai orang lain?

Yayayayaya.... Itu jawabanku buat mereka yang merasa aku menyampaikannya dari sudut pandang yang kasar. FYI, gue lagi dapet. Hari pertama, lagi sensi-sensinya. 

Hmmm, aku jadi kepikiran seandainya aku yang harus membayar seseorang untuk menjadi munafik dan hidup sebagai orang lain, apa saja yah yang harus kutulis di dalam kontrak? Yang pasti sih ya itu tadi, orang itu harus mau menjadi munafik dan hidup sebagai orang lain. 

Misal, aku memiliki produk tahu goreng dengan merek TAGOR, kemudian aku memilih seseorang untuk menjadi ambassadornya. Maka tuh orang tidak boleh makan donut dan kue bolu apalagi sampai memuji-muji. Setidaknya jangan sampai ketahuan, lah!

Lalu, apalagi yah? Sialan, aku jadi kepikiran! Makin banyak yang kutuliskan di kontrak kayaknya akan makin mahal harga yang harus aku bayar.

Hmmm.... aku tulis satu lagi aja deh kalau gitu. Kalau dia melanggar, yang kutulis pertama, dia harus kembalikan semua duitku! Tentu, plus ini plus itu plus anu! Fair dong? Ya nggak sih?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun