Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Perfecto!

10 Juni 2016   23:19 Diperbarui: 13 Juni 2016   11:49 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Image: http://baptfrack.tumblr.com/page/7

Pagi betul ia datang hari ini. Jam dinding di depanku baru menunjukkan pukul 10.00 pagi. “Hai, cantik!” sapanya. Dan seperti biasa, kami kemudian berbalas senyum. Apakah dia yang membalas senyumku ataukah aku yang membalas senyumnya, tak jadi soal bagiku. Yang jelas, setiap kali kulihat senyumnya aku merasakan ada aliran kehidupan menjalari tubuhku. Namun tetap saja, aku hanya bisa mengembangkan senyumku sembari menatapnya dengan binar. Dan aku hanya tetap duduk terpaku.

Biasanya –-setelah menyapa dan membalas senyumku-– dia duduk di kursi kayu di hadapanku. Kadang ia hanya duduk memandangiku tanpa bicara sepatah kata pun. Jika sudah begitu, aku lah yang banyak bicara, meskipun ia selalu acuh tak acuh. Di lain waktu, ia duduk sambil bercerita, tentang apa pun.

“Cantik, kau harus dengar ceritaku ini. Ini adalah cerita rakyat Indian,” katanya suatu kali. Tentang seorang perempuan rupawan yang menikah dengan pohon pinus. Dia, perempuan itu, memilih lari ke rimba ketimbang harus menikah dengan lelaki yang tak dicintainya. Di rimba ia mendengar bisikan lembut pohon pinus. Pohon itu melamarnya, dan perempuan rupawan itu menerimanya.

Sejak itu, aku membayangkan akulah si perempuan itu dan dia adalah si pohon pinus. Bedanya dengan cerita itu, akulah yang membisikkan kata-kata cintaku. Sayangnya, dia tak pernah peduli. Bisikan –-bahkan teriakanku-– tak jua mampu menarik perhatiannya.

Kemarin, ia datang ketika senja hampir menjelang. “Aku baru saja mencuri sekuntum mawar dari taman mawar Hazrat Inayat Khan,” ucapnya seraya meletakkan mawar merah itu di meja bulat di hadapanku.

Dan ketika ia meletakkan mawar itu, aku mencium aroma pinus dari tubuhnya. Aroma yang tak kukenali dari rambutnya yang gondrong dan aroma tembakau dari kumis dan jambang yang menutupi hampir separuh wajahnya.

Begitu dekat ia. Namun aku tak sanggup menyentuhnya. Padahal ingin betul aku menyentuhkan tanganku ke pipinya yang tirus. Namun aku tak sanggup.

Dan ketika sebuah energi aneh tiba-tiba menyergapku lalu membangkitkan kesanggupanku, semua sudah terlambat. Ia telah kembali berjarak, berdiri sejengkal jauhnya dariku; menyunggingkan senyum yang semakin menyiksaku, dan menatapku teduh yang hanya membuat hatiku serasa runtuh.

“Kau semakin cantik dengan mawar itu,” ucapnya sambil menyalakan rokok kreteknya. Dihembuskannya asap rokok hisapan pertamanya itu kencang-kencang seiring debur kepuasan yang merampok hatinya. Lalu ia mengerlingkan mata kanannya; merah mukaku dibuatnya.

Lelaki itu melemparkan senyum manisnya sekali lagi sebelum beranjak meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar.

Suara klik kunci pintu itu ibarat suara lonceng kematian bagiku. Itulah pertanda aku harus menghabiskan lagi waktuku di kamar sempit ini sendiri dengan penuh kegelisahan. Sungguh, menghabiskan waktu penuh kegelisahan adalah siksaan terberat buatku sejak aku merasakan kehidupan mengaliri tubuhku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun