Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Firasat Kematian

21 Desember 2018   22:45 Diperbarui: 23 Desember 2018   13:33 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com

Bagi sebagian orang, firasat kematian adalah berkah. Karena, dengan begitu, kita dapat mempersiapkan diri dengan baik menyambut datangnya ajal. Tapi bagi sebagian yang lain, adalah sebuah kemalangan. Betapa tidak, dengan harus berhati-hati dalam setiap tindakan, bukankah itu berarti harus menjauhi segala kenikmatan duniawi? Alangkah malangnya!

Sarpin, seorang lelaki yang sehari sebelumnya genap berusia 60 tahun, mengalami hal itu. Dia berfirasat akan segera mati. Dan itu artinya, dia harus memilih perbuatan dan tempat-tempat yang baik agar mati dalam keadaan husnul khotimah. Dia tidak ingin orang-orang membicarakan hal buruk setelah kematiannya. Sepertinya, hal itu bukan perkara sulit bagi lelaki yang dikenal sebagai orang baik, rajin membantu, dan taat beribadah itu. Tapi, tidak. Ternyata tidak semudah itu.

Suatu maghrib, ketika sedang berjalan menuju masjid, dia melintas di depan rumah seorang janda muda. Perempuan itu meminta tolong kepadanya untuk memasangkan lampu. Tentu, membantu adalah perbuatan baik. Tapi, apa jadinya jika sedang memasang lampu lalu tersengat listrik kemudian mati? Alangkah malunya mati di rumah seorang janda muda.

“Pak, tolong, saya takut gelap!” perempuan itu mengulangi permintaannya.
“Aku akan menolongmu, tapi… apa yang akan kau lakukan jika aku mati saat menolongmu?”

Perempuan itu terdiam mendengar pertanyaan Sarpin. Dia tak tahu harus berkata apa, harus menjawab apa. Dia, bahkan, merasa sedang menghadapi orang lain, bukan tetangga yang sudah lama dikenalnya. Maka, alih-alih menjawab, perempuan itu segera beringsut meninggalkan Sarpin.

*

Mula-mula, firasat itu datang dari mimpi. Mimpi yang datang tepat pada hari keseratus kematian istrinya. Mimpi yang semula tak dianggapnya. Mimpi memeluk keranda. Sungguh, itu mengerikan. Tapi baginya, tak lebih dari bunga tidur belaka.

Anggapan itu baru berubah ketika dua malam berikutnya dia menemukan kunang-kunang berpendaran di halaman rumahnya. Pasti ada hubungan antara kunang-kunang dengan mimpi itu, pikirnya. Kunang-kunang adalah anak ngarai dan tanah kuburan, bagaimana mungkin mereka tiba-tiba datang ke rumahku kalau bukan untuk mengabarkan kematian?

Firasatnya makin kuat ketika beberapa hari kemudian, tepatnya tengah malam, dia mendengar ada yang mengetuk pintu rumah. Namun, tak ada siapa pun di baliknya. "Malaikat maut kah?" bisiknya.

Begitulah, selalu saja ada kejadian yang menabalkan firasatnya. Bahkan, ketika tiba-tiba ada seekor cicak jatuh di pundak kirinya, ia pun menafsir sebagai pertanda kematian: sebuah kematian yang buruk. "Ya, Tuhan, bahkan cicak pun Kau jatuhkan di pundak kiriku, apakah amalanku selama ini begitu buruk?"

Waktu berlalu, namun Sarpin tak kunjung mati. Dia pun mulai bimbang, jangan-jangan firasatnya keliru. Tapi, siapa yang berani bermain-main dengan kematian? Benarlah, kematian adalah kekalahan terbesar kehidupan, pikirnya. Tapi, tidak. Kematian bukan musuh kehidupan. Kematian bukan untuk dikalahkan. Kematian hanyalah ujung perjalanan.

Tunggu, apa yang sesungguhnya kutakutkan? Kematian itu sendiri atau gunjingan orang setelah kematianku? Sialan! Kenapa pula orang-orang yang masih hidup memperkarakan orang yang sudah mati? Ah, aku juga sialan. Kalau aku sudah mati, apa perlunya kupikirkan orang-orang yang masih hidup?

“Wis, to, Pin, mati kuwi mung perkara wektu. Ora usah repot-repot dipikir, nek wis wancine yo mesti teko dhewe,” ucap Tarjo ketika Sarpin bertamu ke rumahnya. Mati itu cuma masalah waktu, nggak usah repot-repot dipikirkan, kalau sudah tiba waktunya, pasti akan datang dengan sendirinya.

Sarpin merasa kawan lamanya itu tidak betul-betul memahami kegelisahannya. Dan, ketika Sarpin baru saja berniat untuk memperjelasnya, badannya mendadak dingin. Kepalanya berkunang-kunang. Nafasnya tersengal dan tenaganya susut. Tubuhnya terjatuh lemas di punggung sofa. Melihat hal itu, Tarjo segera membaringkannya di sofa panjang lalu mengipasinya.

"Kau punya tasbih?" tanya Sarpin dengan suara yang lemah.
"Tasbih? Aku punyanya rosario," jawab Tarjo sambil menunjukkan untaian rosario yang serupa tasbih.
"Berapa butir?"
"Enam puluh. Kalau nggak salah."
"Baiklah, kupinjam saja,"
“Untuk apa?”
“Berdzikir, biar tenang, biar kalau mati, aku mati sambil bertasbih,”
“Tapi ini rosario, bukan tasbih,”
“Lekaslah!”
"Tunggu sebentar, biar kulepas salibnya,"
"Tidak perlu, kematianku sudah sangat dekat, bisa saja aku mati saat kau sedang melepas salib itu,"
“Tapi ini rosario, apa kau tidak kawatir orang-orang akan…”
“Persetan dengan orang hidup!”

Tarjo pun menyerahkan rosarionya. Lalu, Sarpin bertasbih kalimat tauhid menggunakan rosario itu. Pada butiran ke dua puluh satu, lelaki itu mati. Menggenggam rosario.

***

@thriologi
Ditulis di Kedai Laku Kopi Bintaro, 21 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun