Masyarakat sebuah desa sedang resah oleh suara TOA dari salah satu masjid. Suaranya memekakkan telinga. Semua teknisi sudah dipanggil namun tak satu pun yang berhasil. Harapan tersisa pada seorang pria tua yang lebih dikenal sebagai Pak Toa. Sayangnya, dia sedang sakit.
Reputasi Pak Toa memang tak perlu diragukan lagi. Namanya harum tersebar ke seluruh penjuru desa, bahkan ke desa-desa tetangga. Apa pun masalahmu dengan TOA, serahkan saja padanya. Dijamin beres. Tangannya menyimpan keajaiban. Setiap TOA yang ditanganinya akan mengeluarkan suara yang merdu. Itulah mengapa dia akrab dipanggil Pak Toa ketimbang Sarpin nama sebenarnya.
Tapi, itu dulu. Ketika dia belum membanting roda kehidupannya menjadi buruh tani. Toko TOA semakin banyak, demikian pula bengkel TOA. Kualitas TOA juga semakin baik sehingga jarang yang rusak. Pendeknya, penghasilan sebagai tukang TOA Â tak lagi mencukupi kehidupannya.
Kini, Pak Toa sedang sakit. Istrinya bilang, sakit tua. Badannya kurus kering. Tipis menempel di atas dipan. Jangankan beranjak, menggerakkan tangan pun seperti hilang tenaga. Mak Toa sebenarnya ingin mengobati suaminya. Namun, dia hanya perempuan tua tak berpenghasilan. Tak sanggup membayar biaya pengobatan. Dukun sekali pun. Hidup sehari-hari saja bergantung dari kebaikan alam yang tumbuh di pekarangan kecil belakang rumah. Tak jarang, dia terpaksa meminta segenggam beras kepada tetangganya.
Namun Mak Toa tak pernah mengeluh. Perempuan tua itu selalu ingat pesan suaminya. Hidup adalah anugerah, jangan sia-siakan dengan hujatan dan keluhan.
Menurut pengakuan Saridin tetangganya, Pak Toa adalah orang yang berhati luas. Orangnya ramah. Tak segan menolong siapa pun. Sopan kepada setiap orang, menjura kepada yang lebih tua. Lelaki itu sangat mencintai tetangganya lebih dari mencintai dirinya sendiri.
Kesehatan Pak Toa menurun dan makin memburuk sejak beberapa tahun belakang. Awal-awal ketika dia sakit, para tetangga masih suka membesuknya.
Namun sudah tiga tahun terakhir, yang membesuk makin menyusut, bisa dihitung jari. Orang-orang sibuk tenggelam dalam kesibukan dan kepentingannya masing-masing hingga melupakan Pak Toa. Entahlah, mungkin memang ada hubungannya. Namun sejak ia jarang menapat kunjungan dari sanak kerabatnya kondisi Pak Toa semakin memburuk. Ia tergeletak di atas dipan seperti raga tanpa nyawa namun nafas masih dikandung badan.
Anehnya, setiap suara adzan dari masjid desa berkumandang matanya terbuka. Jemari tangannya bergerak-gerak. Kalau sudah begitu, Mak Toa hanya mampu mengingatkan suaminya, "Sudahlah, Kang, tak usah kau pikirkan itu. Aku tahu, kau ingin membetulkan TOA itu biar suaranya lebih merdu, tapi sudah lewat masamu..."
Air mengalir dari tepi kanan dan kiri mata Pak Toa. Â Pelan membasahi pelipisnya. Mak Toa menyekanya dengan lembut sementara matanya juga basah.
Hingga suatu sore selepas ashar, tiga orang pengurus masjid datang ke rumahnya. Mereka membesuk pria tua itu sekaligus mengulurkan bantuan untuk kesembuhannya. Mereka berharap, jika Pak Toa sembuh, dia dapat membantu membetulkan toa masjid yang suaranya memekakkan telinga itu.