Pukul 5 sore, tapi langit sudah gelap oleh mendung tebal. Hujan sepertinya tinggal menunggu waktu untuk datang dan Ibu belum juga pulang.
Hujan benar-benar datang tapi Ibu tak kunjung pulang. Lamat-lamat terdengar suara adzan. Suaranya tak begitu jelas karena hujan begitu deras.
Gadis kecil itu memeluk bonekanya erat-erat. Ia duduk di tubir tempat tidurnya menghadap jendela kaca. Dibiarkannya jendela kaca itu terbuka sehingga ia dapat melihat rintik hujan meluruhkan sinar lampu jalan.
Tapi Ibu tak kunjung pulang.
Ia hampir tertidur ketika ia mendengar suara mobil berhenti di muka rumahnya. Ibu pulang diantar seorang lelaki. Bukan ayahnya, karena ayah telah meninggal setahun lalu.
Lelaki itu mengantar Ibu hingga ke teras rumah. Kemudian ia mengucap pamit sambil mengecup kening Ibu. Ia melihat wajah Ibu berseri bahagia. Sesuatu yang sudah lama tak dilihatnya. Gadis kecil itu pun terisak. Ia teringat ayahnya.
Sejak ayah tiada, Ibu harus bekerja keras sendiri. Mulanya Ibu bekerja di pabrik roti menjadi tukang panggang, kemudian menjadi juru masak di sebuah restoran. Tetapi penghasilannya tidak mencukupi untuk biaya sekolah putri semata wayangnya. Apalagi ketika putrinya itu sakit, gajinya sama sekali tak sanggup untuk membayar biaya rumah sakit. Namun Ibu selalu bekerja keras. Ia melakukan apa pun untuk mencukupi kebutuhannya. Meskipun untuk itu Ibu menjadi tampak sangat lelah.
Gadis kecil itu senang karena Ibu sudah pulang. Ia juga sangat senang karena Ibu pulang dengan wajah yang ceria. Ingin rasanya ia memeluk Ibu.
Gadis kecil itu segera menghambur menyambut Ibu. Namun Ibu tak menyambutnya. Ibu berjalan begitu saja menuju kamarnya. Ia melemparkan tasnya ke atas kasur lalu menghampiri sebuah foto dalam bingkai duduk yang terletak di atas meja kamar. Di foto itu ada Ibu, Ayah dan gadis kecil itu.
Ibu memeluk foto itu lekat-lekat di dadanya. Air matanya menetes. "Semoga kalian bahagia di Surga," ucapnya.
***