Apakah Pemilu Bisa Dipercaya?
Banyak orang memperbincangkan “Hak Angket” DPR dalam konteks Pilpres 2024 yang tengah menghitung suara saat ini. Hal ini berangkat dari pernyataan Ganjar Pranowo saat wawancara singkat yang beredar di media sosial dan juga pernyataan Adian Napitupulu dalam suatu acara sebuah stasiun televisi. Perkataan Adian Napitupulu kepada Maman Abdurahman yang penulis kutip sebagai berikut “Kecurangan itu tidak bisa lu lihat di angka – angka. Rakyat – rakyat bingung, partai – partai bingung, ketemu kecurangan Pemilu, ngaduinnya kemana? MK? Ada pamannya. Lalu kemana? Mau tidak mau pilihannya adalah hak angket. Ditarik ke parlemen, parlemen harus bertanggung jawab mengontrol produk UU nya salah atau tidak …”.
Tak hanya dari Koalisi PDIP, dalam wawancara singkat Anies Baswedan juga berpendapat “Ketika kita mendengar akan dilakukan, kami melihat itu ada inisiatif yang baik. Ketika Pak Ganjar menyampaikan keinginan untuk melakukan angket itu, Fraksi PDI Perjuangan adalah Fraksi yang terbesar. Kami yakin bahwa koalisi perubahan, Partai Nasdem, Partai PKB, Partai PKS akan siap untuk bersama. Jadi saya memandang adanya inisiatif angket, proses di DPR bisa berjalan, kami siap dengan data – data nya dan dibawah kepemimpinan Fraksi terbesar, maka proses di DPR bisa berjalan. Saya yakin Koalisi Perubahan siap akan menjadi bagian daripada itu.”
Hak Angket menjadi perbincangan hangat setelah banyak pihak yang menyatakan bahwa Pemilu 2024 dipenuhi kecurangan. Kecurangan yang dimaksud dimulai dari keluarnya Putusan MK Nomor 90, pembagian bansos, pengankatan PJ Gubernur, dan sebagainya. Jika pembaca ingin mengetahui apa saja yang menjadi bentuk kecurangan, penulis rekomendasikan untuk menonton Film Dirty Vote di Youtube.
Angket
Pasal 79 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang – undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang – undangan.” Hak angket dapat diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi. Pengusulan hak angket harus memuat paling sedikit materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang – undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikan. Artinya DPR dapat memanggil KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan Bawaslu sebagai pengawas pemilu.
Menurut penulis, proses penyelesaian sengketa pemilu seharusnya dilakukan di Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 24 c ayat (1) yang berbunyi "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang - undang terhadap Undang - Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang - Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum." Namun saat ini, masyarakat tidak lagi percaya pada Mahkamah Konstitusi, setelah keluarnya Putusan No. 90 yang memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H