Jababeka, Cikarang — Di tengah hiruk-pikuk Jababeka, kawasan industri terbesar di Cikarang, Pa Busro menjalani hidup yang sederhana namun penuh makna. Setiap hari, ia mengumpulkan barang-barang bekas di sekitar pabrik dan perumahan, menikmati kebebasan yang jarang dimiliki banyak orang. Pekerjaan yang sering dianggap sepele ini, justru memberinya ketenangan yang ia cari.
Sebelum menjadi pemulung, Pa Busro bekerja sebagai penjaga parkir di sebuah kawasan industri. Gajinya cuma satu juta per bulan, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Selain itu, pekerjaan itu membuatnya terjebak dalam rutinitas yang monoton. “Kerja terus-menerus, pulang, tidur, lalu kerja lagi. Tidak ada waktu buat keluarga atau diri sendiri,” kenangnya.
Akhirnya, Pa Busro memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan itu dan mencari jalan lain. Meski hasilnya tidak menentu, ia merasa menjadi pemulung memberinya lebih banyak kebebasan. “Kadang dapat banyak, kadang sedikit. Tapi cukup untuk keluarga saya,” ujarnya dengan nada santai. Ia menghabiskan waktu dengan mencari kardus, botol plastik, dan barang elektronik bekas, sambil tetap menikmati waktu lebih bersama keluarga.
Kini, Pa Busro tinggal di rumah sederhana bersama istri, anak-anak, dan cucunya. Mereka tidak punya banyak harta, tapi kebahagiaan sudah cukup dirasakan. “Kami tidak punya rumah besar atau mobil mewah, tapi saya bisa makan bareng keluarga, bercanda sama cucu. Itu sudah cukup buat saya,” ungkapnya penuh syukur.
Meskipun hidup sederhana, Pa Busro tahu bahwa kebahagiaan tidak datang begitu saja. Ia merasa hidup harus dijalani dengan usaha sendiri, ia tidak mendapat bantuan dari siapapun termasuk dari pemerintah. “Semua yang saya dapatkan adalah hasil kerja keras saya,” tegasnya.
Menjadi pemulung bukan keputusan yang mudah. Ia sempat ragu, tapi akhirnya memilih untuk menuruti kata hatinya. Ia tak lagi terikat rutinitas yang membuatnya merasa tertekan. “Bekerja sebagai pemulung memang tidak ada jaminan tiap bulan, tapi saya lebih bebas,” katanya dengan senyum.
Kini, meski tak ada ambisi besar atau perubahan drastis yang ia harapkan, Pa Busro merasa puas dengan hidupnya. “Kebahagiaan itu sederhana. Cukup dengan apa yang ada,” ujarnya, mengingatkan kita bahwa kebahagiaan bukan soal seberapa banyak uang, tapi bagaimana kita menikmati waktu bersama orang-orang yang kita cintai.
Kisah Pa Busro mengajarkan kita bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam kesederhanaan. Kadang, hidup yang penuh syukur dan kedamaian lebih berharga daripada segala harta yang kita kejar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI