Postmodernisme adalah salah satu aliran pemikiran yang paling kompleks dan memicu perdebatan luas di abad ke-20. Ia lahir sebagai respons terhadap modernisme, sebuah paradigma yang mendominasi cara manusia memahami dunia sejak Pencerahan.
 Jika modernisme berusaha membangun narasi besar (grand narrative) untuk menjelaskan dunia secara universal, postmodernisme justru membongkar narasi-narasi tersebut. Prinsip-prinsipnya seperti lokalitas, subjektivitas, dan relativitas menjadi landasan bagi kritik terhadap ide-ide besar modernisme seperti kebenaran universal, rasionalitas, dan kemajuan linear. Â
Postmodernisme bukanlah satu teori tunggal, melainkan kumpulan ide yang saling tumpang tindih namun memiliki tujuan yang sama: menggugat pandangan dunia yang terlalu terpusat, absolut, dan sering kali mengabaikan keragaman pengalaman manusia. Â
Latar Belakang Postmodernisme.
Postmodernisme muncul pada pertengahan abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia II. Perang besar ini membuka mata banyak pemikir bahwa optimisme modernisme---dengan teknologi, ilmu pengetahuan, dan rasionalitas sebagai tonggaknya---tidak menjamin kehidupan manusia yang lebih baik. Justru, kemajuan ini digunakan untuk menciptakan senjata pemusnah massal dan sistem penindasan yang semakin kompleks. Â
Tokoh-tokoh seperti Jean-Franois Lyotard, Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Jean Baudrillard mulai mengkritik modernisme. Mereka menyoroti bagaimana narasi besar, seperti sains, agama, atau ideologi politik, sering kali digunakan untuk membungkam suara-suara minoritas dan mendominasi pemahaman dunia. Postmodernisme pun menawarkan pendekatan alternatif yang lebih fleksibel, beragam, dan terbuka terhadap interpretasi. Â
Kritik Postmodernisme terhadap Narasi Besar. Â
Narasi besar adalah inti dari modernisme. Ia adalah kisah universal yang mencoba menjelaskan segala sesuatu, seperti ide bahwa sains akan membawa kemajuan, atau bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik menuju kesejahteraan. Postmodernisme menolak ini dengan alasan bahwa narasi besar cenderung menyederhanakan realitas yang kompleks dan sering kali digunakan untuk melanggengkan kekuasaan tertentu. Â
Jean-Franois Lyotard, dalam bukunya "The Postmodern Condition: A Report on Knowledge" (1979), menyebut postmodernisme sebagai "ketidakpercayaan terhadap narasi besar." Ia menekankan bahwa dalam dunia yang semakin kompleks, kebenaran tidak bisa didefinisikan secara tunggal. Sebaliknya, kebenaran bersifat lokal dan kontekstual, tergantung pada sudut pandang dan pengalaman individu atau komunitas tertentu. Â
Sebagai contoh, modernisme mungkin memandang sejarah manusia sebagai perjalanan linear dari primitif ke modern. Namun, postmodernisme menunjukkan bahwa tidak semua budaya melihat waktu sebagai sesuatu yang linear. Banyak masyarakat adat, misalnya, memiliki pandangan siklikal tentang waktu, di mana masa lalu, sekarang, dan masa depan saling terhubung dalam siklus yang berulang. Â