Ketika Joko Anwar memutuskan untuk menghidupkan kembali film horor klasik Indonesia Pengabdi Setan (1980), ekspektasi publik langsung tinggi. Film aslinya sudah menjadi legenda, sehingga versi baru ini dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menghormati sumber aslinya sekaligus memberikan sesuatu yang segar. Hasilnya? Sebuah pengalaman horor modern yang bukan hanya berhasil menakuti tetapi juga menggali emosi mendalam dari kisah keluarga dan trauma.
Film ini berpusat pada keluarga miskin yang tinggal di sebuah rumah tua terpencil di pinggiran kota. Kisah dimulai dengan kondisi ibu (Ayu Laksmi) yang terbaring sakit selama bertahun-tahun akibat penyakit misterius. Keluarga ini terdiri dari Rini (Tara Basro), anak tertua yang mencoba menjadi tulang punggung keluarga; Bapak (Bront Palarae), seorang pria yang kerap pergi mencari nafkah; dan ketiga adiknya, Tony, Bondi, dan Ian.
Setelah sang ibu meninggal dunia, serangkaian kejadian aneh mulai terjadi. Penampakan, suara-suara misterius, dan teror lainnya menghantui keluarga ini. Mereka kemudian menemukan fakta mengejutkan: ibu mereka pernah terlibat dalam sebuah sekte yang memuja iblis demi mendapatkan keturunan. Kini, keluarga ini menjadi target dari kekuatan gelap yang ingin mengambil sesuatu yang berharga dari mereka.
Suasana dan Atmosfer yang Mencekam
Salah satu kekuatan utama Pengabdi Setan adalah atmosfernya. Sejak adegan pembuka, film ini mengundang penonton masuk ke dunia yang gelap, penuh misteri, dan suram. Rumah tua yang menjadi latar utama cerita adalah karakter tersendiri. Dindingnya yang kusam, tangga yang berderit, hingga jendela besar yang menghadap ke kuburan menciptakan suasana yang mencekam tanpa harus banyak dialog.
Joko Anwar dengan cermat memanfaatkan desain produksi untuk membangun rasa takut. Rumah itu terasa seperti jebakan, tempat di mana kejahatan bisa muncul kapan saja. Selain itu, penggunaan pencahayaan yang minim dan suara yang menghantui seperti lonceng yang menjadi penanda kehadiran roh jahat semakin mempertebal nuansa horor.
Karakter dan Akting yang Menghidupkan Cerita
Tara Basro sebagai Rini menjadi pusat cerita. Dia memerankan seorang kakak yang tegar namun penuh ketakutan dengan sangat meyakinkan. Ekspresi wajahnya, cara dia merespons ancaman yang datang, hingga interaksinya dengan adik-adiknya terasa alami dan menyentuh. Bront Palarae sebagai sang ayah juga memberikan performa solid, meski karakternya lebih pasif dibandingkan anggota keluarga lainnya.
Namun, bintang sesungguhnya adalah Ayu Laksmi, yang memerankan ibu. Meski tidak banyak dialog, kehadirannya begitu menyeramkan. Tatapan matanya yang kosong dan keheningannya menciptakan rasa tidak nyaman yang bertahan sepanjang film. Bahkan setelah karakternya meninggal, bayangannya masih menghantui keluarga ini---dan penonton.
Adik-adik Rini juga memberikan penampilan yang menarik. Karakter Ian, yang bisu, menjadi elemen penting dalam cerita. Dengan keterbatasan komunikasi, dia berhasil mencuri perhatian melalui gestur dan ekspresinya yang polos namun penuh ketakutan.