Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Menganalisa Maraknya Fenomena Paslon Tunggal dalam Pilkada 2024

5 Oktober 2024   22:36 Diperbarui: 5 Oktober 2024   22:58 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Source : Antara News

Pilkada serentak 2024 sedang bergerak menuju sebuah titik krisis yang jarang dibicarakan, namun sangat mengkhawatirkan, yakni maraknya calon tunggal. Hingga awal september 2024, tercatat 43 daerah hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah. Hal ini berarti, masyarakat di daerah tersebut bukan dihadapkan pada pilihan yang sehat, tetapi dipaksa memilih antara calon tunggal atau kotak kosong. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperpanjang masa pendaftaran untuk 43 daerah tersebut dengan harapan partai-partai politik berani mengusung calon baru. Jika tidak, sejarah akan mencatat Pilkada 2024 sebagai pemilihan dengan jumlah calon tunggal terbanyak sejak era reformasi.

Pertanyaannya, di mana letak demokrasi kita ketika proses elektoral semakin mengkerucut pada fenomena tanpa pilihan? Apakah partai-partai politik telah menyerah pada fungsi utamanya, yaitu sebagai wadah penyeleksi pemimpin yang kompetitif? Fenomena ini lebih dari sekadar anomali elektoral; ini adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang keliru dengan cara kita menjalankan demokrasi. Artikel ini mencoba untuk mengupas dengan kritis apa yang sebenarnya terjadi di balik maraknya calon tunggal, dan apa dampaknya bagi demokrasi di tingkat lokal maupun nasional.

Salah satu indikator utama dari demokrasi yang sehat adalah adanya pilihan yang jelas dan kompetitif bagi pemilih. Namun, ketika Pilkada hanya menyisakan satu pasangan calon, kita harus mempertanyakan apakah masyarakat benar-benar memiliki pilihan. Dalam banyak kasus, calon tunggal adalah petahana atau figur dominan di daerah tersebut, yang karena kekuatannya secara politik, ekonomi, dan sosial, membuat calon-calon lain mundur atau enggan maju.

Beberapa contohnya sangat mencolok. Papua Barat, sebuah provinsi besar dengan dinamika politik yang unik, hanya memiliki satu pasangan calon. Di tingkat kota, daerah-daerah strategis seperti Surabaya, Pangkal Pinang, hingga Samarinda juga menyisakan calon tunggal. Di tingkat kabupaten, daerah-daerah seperti Serdang Bedagai (Sumatera Utara) hingga Muna Barat (Sulawesi Tenggara) memiliki situasi serupa. Dalam kasus-kasus ini, dominasi politik lokal menjadi sangat kentara. Partai-partai politik besar lebih memilih berkoalisi untuk mendukung satu calon, daripada bertarung di arena demokrasi yang sesungguhnya.

Namun, apa dampaknya terhadap masyarakat? Pemilih di daerah-daerah ini dipaksa untuk memilih antara mendukung satu-satunya calon atau memilih kotak kosong. Di permukaan, kotak kosong seolah menawarkan alternatif. Tapi mari kita kritis sejenak: apakah benar kotak kosong adalah solusi bagi ketidakpuasan publik? Dalam sistem yang seharusnya menawarkan beragam calon dan gagasan, kotak kosong hanya mencerminkan kemunduran. Pemilihan semacam ini, alih-alih memupuk kompetisi yang sehat, justru mengikis representasi politik. Ini bukan lagi tentang pilihan, melainkan penyerahan mutlak kepada status quo.

Maraknya calon tunggal menunjukkan sesuatu yang lebih dalam: kegagalan partai politik dalam menjalankan peran mereka sebagai institusi demokrasi. Partai-partai politik seharusnya menjadi wadah untuk mengajukan calon-calon yang layak, yang bisa menjadi alternatif bagi rakyat. Namun kenyataannya, partai-partai besar lebih memilih bermain aman, berkoalisi untuk mendukung calon yang kuat, dan mengabaikan hakikat demokrasi yang seharusnya memberikan pilihan nyata.

Mengapa partai-partai politik enggan mengusung calon lain? Jawaban sederhana: perhitungan pragmatis. Partai-partai ini lebih fokus pada bagaimana mempertahankan kekuasaan, daripada bagaimana memberikan alternatif bagi masyarakat. Dengan mendukung calon tunggal yang kuat, mereka mengamankan posisi politiknya dan meminimalisir risiko kekalahan. Hal ini terjadi di berbagai daerah, terutama di mana petahana atau sosok berpengaruh lokal mendominasi. Daerah seperti Aceh Utara, Brebes, hingga Gresik menjadi contoh nyata di mana partai-partai politik memilih untuk tidak mengusung calon baru, meskipun mungkin ada potensi untuk melawan status quo.

Selain itu, fenomena calon tunggal juga menunjukkan krisis pengkaderan di dalam tubuh partai. Partai-partai politik sering kali mengandalkan sosok kuat yang sudah dikenal, daripada memunculkan tokoh baru yang bisa menawarkan perubahan. Akibatnya, proses rekrutmen politik di tingkat lokal terhenti. Ini juga yang menyebabkan banyak daerah berakhir dengan calon tunggal, karena partai politik tidak memiliki stok kader yang kompeten atau berani bersaing.

Kita perlu menyadari bahwa demokrasi tanpa kompetisi berisiko merusak sistem politik kita dalam jangka panjang. Tanpa adanya pilihan, demokrasi kehilangan makna esensialnya. Pilkada yang hanya menawarkan calon tunggal dengan lawan kotak kosong bukanlah demokrasi yang sehat; itu adalah simulasi demokrasi yang menyesatkan.

Masyarakat di daerah yang hanya memiliki calon tunggal mungkin merasa apatis terhadap proses politik. Bagaimana tidak, ketika mereka tidak memiliki calon alternatif yang menawarkan visi dan program yang berbeda, maka minat untuk berpartisipasi dalam Pilkada akan menurun. Tingkat partisipasi pemilih bisa saja anjlok, karena banyak yang merasa bahwa hasil pemilihan sudah bisa diprediksi. Mereka yang memilih kotak kosong mungkin melakukannya sebagai bentuk protes, tetapi pada akhirnya, protes ini tidak akan berdampak besar kecuali terjadi kemenangan kotak kosong yang sangat jarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun