Pilkada DKI Jakarta selalu menjadi pusat perhatian. Sebagai ibukota negara Indonesia, setidaknya sampai IKN dianggap rampung dan siap menggantikan Ibu Kota Jakarta. hasil dari pemilihan ini tak hanya mempengaruhi warga Jakarta, tapi juga menjadi simbol dari hasil pertarungan terhadap dinamika politik nasional.
Pilkada kali ini tidak menghadirkan Anies Baswedan yang menjadi kandidat petahana di DKI Jakarta. Berbagai masalah melatarbelakangi pencalonannya, hingga harus tergerser dari bursa pencalonan. Apabila dimaknai sebagai favoritisme, tentu ini adalah hal yang menyedihkan, tapi sebagai dinamika politik tanah air kita semua perlu menerima prosesi yang tengah berlangsung di negeri ini.
 Kali ini, di DKI Jakarta dihadapkan pada pertarungan tiga pasangan calon: Ridwan Kamil -- Suswono (nomor urut 1), Pongrekun -- Kun Wardana (nomor urut 2), dan Pramono Anung -- Rano Karno (nomor urut 3). Kebanyakan orahg menganggap kalau pasangan nomor 2 hanya "penghias", karena kurang menterengnya portofolio mereka di Polituk membuat kesempatan mereka lolos sebagai Gubernur Jakarta sangatlah sempit. Kali ini, utama tertuju pada persaingan antara dua kandidat kuat, pasangan Ridwan Kamil-Suswono dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan Pramono Anung-Rano Karno dari PDIP.
Melihat di etalase politik, tentu kita melihat kemenangan telak ada pada pasangan RK-Suswono. Tapu, jika kita amati lebih dalam, ada beberaa faktor yang dapat membuat pasangan nomor urut 3 ini jadi kuda hitam dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 ini. Dalam tulisan ini, saya berusaha mencoba menyelami peluang Pramono Anung dan Rano Karno secara mendalam, di luar dari sekadar retorika politik, tentang bagaimana sentimen publik, dinamika sosial, dan kejutan-kejutan yang mungkin muncul di Pilkada ini bisa berperan dalam memenangkan hati rakyat Jakarta.
Jakarta, sebagai ibukota negara, selalu dihadapkan pada tekanan besar: politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kota ini adalah melting pot dari berbagai lapisan masyarakat dan identitas. Memahami karakteristik warga Jakarta sangat penting bagi calon gubernur. Meskipun banyak yang berasumsi bahwa program-program pembangunan fisik adalah kunci, pada kenyataannya Jakarta lebih membutuhkan pemimpin yang dapat mengatasi masalah yang sangat kompleks: mulai dari ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial, hingga kebutuhan akan pemimpin yang memahami dinamika kota ini secara emosional.
Pramono Anung dan Rano Karno menyadari hal ini. Mereka datang dengan pendekatan yang lebih dekat kepada hati masyarakat, memahami bahwa Jakarta adalah kota dengan jutaan cerita dan aspirasi. Pengalaman Pramono di pemerintahan memberikan stabilitas dan kepercayaan bahwa ia memahami mesin birokrasi, sementara Rano Karno, yang dikenal sebagai aktor legendaris dan mantan Gubernur Banten, memberikan sentuhan yang lebih humanis. Kehadirannya di dunia hiburan dan politik telah membentuknya sebagai sosok yang dikenal luas, tak hanya di Jakarta tetapi di seluruh Indonesia. Bagi banyak warga, sosok Rano mengingatkan pada kesederhanaan, sesuatu yang kadang hilang di tengah kehidupan Jakarta yang penuh hiruk-pikuk.
Disii lain, Ridwan Kamil yang mantan Gubernur Jawa Barat, membawa rekam jejak yang impresif. Namun, kehadirannya di Pilkada DKI kali ini tidak lepas dari bayang-bayang masa lalu, terutama terkait beberapa cuitan lamanya di Twitter yang menyentuh isu sensitif bagi warga Jakarta, khususnya pendukung Persija. Beberapa waktu lalu, cuitan tersebut kembali diangkat oleh publik, mengungkapkan pernyataan yang dianggap kurang menghormati warga Jakarta dan Persija, klub sepak bola kebanggaan ibu kota.
Meski mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal kecil, tetapi dalam dunia politik, opini publik adalah segalanya. Terlebih lagi, di Jakarta, di mana sepak bola bukan sekadar olahraga, tetapi bagian dari identitas kota. Persija adalah simbol harga diri bagi banyak orang, dan apapun yang dianggap sebagai bentuk penghinaan terhadap Persija bisa menimbulkan sentimen yang mendalam. Dalam hal ini, meskipun Ridwan Kamil berusaha menjelaskan dan mungkin telah meminta maaf, persepsi warga Jakarta tetap terpengaruh.
Di titik inilah Pramono Anung dan Rano Karno memiliki keunggulan. Mereka tidak terbebani oleh kontroversi semacam itu, dan justru bisa menarik simpati dari para pemilih yang kecewa atau merasa terpinggirkan oleh pasangan RK-Suswono. Sosok Rano Karno, yang merakyat dan tidak terlibat dalam gesekan sosial semacam itu, menjadi aset besar dalam menarik pemilih yang mengutamakan hubungan emosional daripada sekadar visi pembangunan fisik.
Kombinasi Pengalaman dan Kharisma Warga Betawi