Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Dinasti, Mengulas Kembali Praktik Kekuasaan Era Orde Baru

16 Juni 2024   00:14 Diperbarui: 26 Juni 2024   00:01 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soeharto, yang memimpin Orde Baru (Image Source: Kompas)

Politik dinasti merupakan fenomena yang telah mengakar dalam sejarah politik Indonesia, terutama mencuat selama era pemerintahan Soeharto. Praktik ini tidak hanya mencerminkan dominasi kekuasaan oleh satu keluarga atau kelompok terbatas, tetapi juga memiliki dampak yang mendalam terhadap demokrasi, tata kelola pemerintahan, dan pembangunan nasional secara keseluruhan.

Pada era Soeharto, politik dinasti mencapai puncaknya dengan Soeharto sendiri memegang kendali penuh atas pemerintahan Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Keluarga dan kerabat dekatnya seperti anak-anak dan menantu, serta kroni-kroni politik yang dipilih secara selektif, mendominasi struktur kekuasaan. Hal ini menciptakan lingkaran kekuasaan yang tidak hanya memonopoli keputusan politik dan ekonomi tetapi juga mempersempit ruang bagi partisipasi politik yang bebas dan adil.

Selama lebih dari tiga dekade, Soeharto memimpin Indonesia dengan tangan besi yang juga menyertakan keluarga dan kroni-kroninya dalam struktur kekuasaan. Ini menciptakan lingkaran kekuasaan yang sangat terpusat di sekitar presiden dan orang-orang dekatnya. Keluarga Soeharto, termasuk anak-anaknya dan menantunya, tidak hanya memegang jabatan penting di pemerintahan, tetapi juga mendominasi sektor-sektor ekonomi kunci, seperti perbankan, pertambangan, dan industri lainnya. Penguasaan yang kuat ini tidak hanya memberikan mereka kendali atas kekayaan negara tetapi juga atas arah kebijakan nasional.

Praktik Politik dinasti sering kali memfasilitasi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas. Kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan kelompok kecil memungkinkan mereka untuk menyalahgunakan sumber daya negara demi kepentingan pribadi atau kelompok. Proyek-proyek pembangunan besar-besaran dan kebijakan ekonomi sering kali didesain untuk menguntungkan kroni-kroni politik, sementara masyarakat umum sering kali dikesampingkan dari manfaatnya.

Dominasi politik dinasti mengakibatkan birokrasi yang terkooptasi, di mana penunjukan pejabat publik lebih didasarkan pada kriteria politis daripada kompetensi dan kapabilitas profesional. Akibatnya, birokrasi tidak efektif dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong inovasi. Ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap institusi negara.

Politik dinasti sering kali memperburuk ketimpangan ekonomi dan sosial di Indonesia. Dominasi ekonomi oleh kelompok kecil yang terkait dengan dinasti dapat mengakibatkan distribusi sumber daya yang tidak merata, meningkatkan kesenjangan antara kelompok elit dan masyarakat umum. Hal ini dapat menciptakan ketidakadilan sosial yang mendalam dan menghambat pembangunan yang inklusif.

Politik dinasti cenderung meredam persaingan politik yang sehat dan pluralisme dalam demokrasi. Partai politik yang ada terkooptasi atau terbatasi dalam upaya mereka untuk bersaing secara adil. Dalam konteks ini, masyarakat tidak memiliki pilihan yang memadai dalam proses politik dan electoral, yang merupakan inti dari demokrasi yang berfungsi dengan baik.

Pengalaman Indonesia dengan politik dinasti di bawah Soeharto adalah sebuah pembelajaran berharga tentang bahaya konsolidasi kekuasaan dalam tangan kelompok kecil atau individu. Untuk mencegah kembali terulangnya era yang gelap ini, langkah-langkah reformasi yang substansial harus diterapkan dengan tekad yang kuat:

Perlu ada reformasi hukum yang lebih ketat untuk mengontrol kekuasaan politik dinasti, termasuk pembatasan masa jabatan bagi pejabat publik dan pengaturan yang jelas terkait dengan kekuasaan eksekutif. Batas-batas yang jelas dan penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk mencegah akumulasi kekuasaan yang tidak sehat.

Lembaga-lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Komisi Yudisial perlu diperkuat untuk meningkatkan pengawasan terhadap praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Keberadaan lembaga-lembaga ini harus didukung dengan dana dan sumber daya yang cukup serta kemandirian yang tinggi dari intervensi politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun