Teori feminis dalam HI adalah salah satu sub-aliran postmodernis yang menyoroti peran gender dalam hubungan internasional. Teori ini menekankan pentingnya memahami bagaimana konstruksi gender memengaruhi politik global, termasuk perang, perdamaian, dan kebijakan luar negeri.
Beberapa konsep kunci dalam teori feminis adalah "gender mainstreaming" (integrasi gender), "intersectionality" (persimpangan identitas), dan "agency" (agensi). Teori feminis menekankan bahwa peran perempuan dan pemahaman tentang maskulinitas dan femininitas dapat membentuk cara negara-negara berinteraksi dalam arena internasional. Teori feminis juga menyoroti bagaimana perang dan konflik berdampak berbeda pada perempuan dan laki-laki serta bagaimana perempuan dapat memiliki peran penting dalam proses perdamaian dan rekonsiliasi.
Teori Dekolonial (Decolonial Theory)
Teori dekolonial adalah teori yang muncul sebagai reaksi terhadap pengaruh kolonialisme dan imperialisme dalam hubungan internasional. Teori ini menyoroti bagaimana konstruksi pengetahuan global dan sistem pengetahuan yang didominasi Barat memengaruhi realitas politik dunia.
Beberapa konsep dalam teori dekolonial adalah "epistemicide" (pembunuhan pengetahuan), "epistemic privilege" (hak istimewa pengetahuan), dan "cognitive justice" (keadilan kognitif). Teori dekolonial menekankan perlunya menggali pengetahuan lokal dan mengakui kontribusi budaya non-Barat dalam memahami realitas politik internasional. Teori ini juga menyoroti peran penting subyek-subyek yang terpinggirkan dalam diskursus global.
Teori Poskolonial (Postcolonial Theory)
Teori poskolonial dalam HI memeriksa warisan kolonial dalam politik global dan berupaya mengungkap ketidaksetaraan dalam hubungan internasional. Teori ini menyoroti bagaimana perasaan superioritas budaya Barat dan penjajahan telah membentuk realitas politik dunia.
Para pemikir poskolonial seperti Edward Said dan Gayatri Chakravorty Spivak mengemukakan pentingnya mempertanyakan narasi-narasi yang mendominasi dan mendefinisikan "orang lain" dalam politik global. Mereka menekankan bahwa pemahaman tentang negara-negara berkembang sering kali didasarkan pada stereotip dan asumsi yang mengabaikan keragaman budaya dan identitas.
Selain teori-teori yang disebutkan, ada mash banyak lagi teori postmodern yang diterapkan secara analitis dalam banyak kajian dalam tulisan para ilmuan Hubungan Internasional. Meskipun teori-teori postmodernis dalam HI telah memberikan kontribusi yang berharga dalam memperkaya pemahaman kita tentang politik global, ada juga kritik yang diarahkan kepada pendekatan ini.
Salah satu kritik utama adalah bahwa teori-teori postmodernis sering kali terlalu abstrak dan sulit diterapkan dalam analisis konkret. Beberapa kritikus berpendapat bahwa ketidakjelasan dalam definisi konsep-konsep kunci, seperti identitas, bahasa, dan konstruksi sosial, membuat teori-teori ini kurang bermanfaat dalam konteks kebijakan luar negeri dan analisis geopolitik.
Selain itu, ada juga kritik terhadap teori-teori postmodernis yang menilai bahwa mereka terlalu terfokus pada kritik terhadap pandangan tradisional dan tidak memberikan alternatif yang memadai. Kritik ini berpendapat bahwa teori-teori postmodernis sering kali lebih suka mengajukan pertanyaan daripada memberikan jawaban konkret dalam menghadapi masalah-masalah global.