Mohon tunggu...
Thoriq Ahmad Taqiyuddin
Thoriq Ahmad Taqiyuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Audaces Fortuna Iuvat

Hidup dimulai dari mimpi, dilanjutkan dengan membaca, memetakan, merencanakan, melaksanakan lalu terus berimprovisasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bom Atom dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

20 September 2023   20:00 Diperbarui: 20 September 2023   21:00 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Detik.com

Setelah Pengeboman yang dilancarkan Amerika Serkat ke Hirosima dan Nagasaki, pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Jepang Hirohito menyampaikan pidato melalui siaran radio kepada seluruh rakyat Jepang. 

Pidato ini merupakan pernyataan resmi pertama Jepang yang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada pihak Sekutu dan mengakhiri Perang Dunia II di Pasifik. Pidato tersebut, yang dikenal sebagai "Gyokuon-hs" atau "Siaran Pita Istana," yang diputarkan melalui radio pada pukul 12 siang waktu Jepang. Di dalam pidato, Kaisar Hirohito menyampaikan pesan yang sebelumnya telah disepakati oleh Dewan Perang Jepang.

Dalam pidato itu, Kaisar Hirohito menyatakan bahwa Dewan Imperial Jepang, telah memutuskan untuk mengabulkan permintaan untuk pengakhiran perang. Kaisar Hirohito juga menyampaikan pesan mengenai perubahan situasi perang secara global dan kehancuran yang diakibatkan oleh bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Ia menyatakan bahwa Jepang perlu menelan pil yang pahit dari kegagalan dalam peperangan ini dan merenungkan kembali tanpa henti atas peran negara dalam kehancuran perang ini.

Dalam pidatonya, Kaisar Hirohito tidak menyebutkan kata "menyerah" secara langsung, tetapi pesan yang diucapkan secara implisit adalah pengakuan bahwa Jepang telah kalah dan tidak ada jalan lain selain mengakhiri perang. Pidato ini menyatakan bahwa Jepang akan menerima perjanjian penyerahan tanpa syarat yang ditawarkan oleh pihak Sekutu.

Pidato Kaisar Hirohito ini sangat berpengaruh bagi rakyat Jepang, karena Kaisar dianggap sebagai simbol kesatuan bangsa dan memiliki kedudukan yang sangat terhormat dalam masyarakat Jepang. Pidato ini menyatukan kesadaran publik Jepang tentang kekalahan mereka dalam perang dan membuka jalan bagi proses penyerahan Jepang secara resmi. Dua minggu setelah pidato Kaisar Hirohito tersebut, perjanjian penyerahan Jepang ditandatangani secara resmi di atas kapal perang Amerika Serikat, USS Missouri, pada tanggal 2 September 1945.

Soekarno dan Hatta menolak tuntutan dari para pemuda. Terjadi perbedaan pandangan yang terjadi antara generasi tua dan muda tentang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan membuat adanya  kekecewaan yang dialami oleh golongan pemuda.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, sekitar pukul 22.00, para pemuda mendatangi rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Wikana mengancam Soekarno, bahwa jika tidak ada pengumuman malam itu juga, akan terjadi pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran besok. Hatta yang juga hadir dalam pertemuan itu berbicara, menyatakan bahwa saat ini mereka harus menghadapi Belanda yang berusaha kembali menguasai negeri mereka. 

Jika Soekarno tidak setuju dan merasa siap untuk memproklamirkan kemerdekaan, maka mengapa dia tidak melakukannya sendiri? Perdebatan sengit berlangsung, namun akhirnya Soekarno tidak dapat mengambil keputusan sendiri dan berkonsultasi dengan tokoh lain seperti Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Setelah perundingan, Hatta menyatakan bahwa mereka menolak usulan pemuda dengan alasan perlunya perhitungan yang lebih cermat karena akan timbul banyak korban jiwa dan harta.

Pada tanggal 17 Agustus 1945, tepatnya pukul 10 pagi, di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, sebuah momen bersejarah terjadi bagi bangsa Indonesia. Soekarno, yang menjadi pemimpin nasionalis terkemuka, bersama Mohammad Hatta, yang saat itu menjadi wakil pemimpin, mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang.

Walaupun situasi politik dan keamanan saat itu sangat genting, Soekarno dan Hatta bersama para pemimpin nasionalis lainnya tetap melanjutkan rencana untuk memproklamirkan kemerdekaan. Mereka menyadari bahwa momen tersebut merupakan kesempatan yang langka dan harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun