Peradaban adalah sebuah perjalanan panjang dari kumpulan praktik masyarakatnya, yang di satu sisi melahirkan kebudayaan sebgai peninggalan dan perkembangan sebagai proses yang akan terus berlangsung sampai sebuah bangsa lenyap dan hanya diceritakan sejarahnya saja. Sebagaimana peradaban kuno Aztec dan Inca di Benua Amerika Selatan yang gagal berkembang dan hanya diceritakan sejarahnya saja berupa ilmu pengetahuan, banyak peradaban lain yang dapat bertahan dengan mengikuti peradaban dari kebudayaan lain atau justru menjadi kebudayaan superior yang mampu mempengaruhi transisi kebudayaan yang mereka miliki diadopsi oleh kelompok masyarakat dari kebudayaan lainnya.
semua bangsa menciptakan sebuah praktik tradisi yang apabila dibandingkan memiliki kekhasan antar satu sama lain yang dinamakan sebagai kebudayaan, baik itu berupa bahasa, praktik berbusana, tarian adat, lagu dan music serta banyak kekhasan lain. Sedangkan untuk perkembangan dari peradaban, kehidupan masyarakatnya perlu beradaptasi dengan perubahan. Adanya modernisasi di berbagai lini, telah masuknya kita ke tahap revolusi industri 4.0 dan praktik hubungan antar negara yang mengedepankan kerjasama secara global telah menjadi sedikit dari banyaknya gambaran kalau dunia yang berubah ini membutuhkan masyarakat yang dapat bergerak secara dinamis.
Kesadaran masyarakat akan perubahan yang berlangsung cepat ini tentu tak muncul secara alami, untuk itu standar pendidikan dan jenjang-jenjangnya dibuat oleh seluruh pemerintahan dunia guna membantu keberlangsungan hidup dari masyarakatnya. Walaupun pendidikan melibatkan hubungan antar manusia yang cukup pelik, sebagaimana setiap hubungan antar manusia dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari hari. Namun kualitas dari masyarakat perlu dirawat untuk menjangkau perubahan yang akan terjadi secara pasti.
Masyarakat modern adalah kelompok peradaban yang sangat mengedepankan akal dibandingkan emosional, terlihat dari kesenjangan antar masyarakat yang terjadi dengan sangat tajam dan menyebar dengan sangat luas. Keberlangsungan hubungan antar masyarakat yang telah disenjangkan oleh banyak hal di dunia global telah menuntut manusia modern untuk bertahan hidup dengan cara beradaptasi.
Penerapan pendidikan lewat metode pedagogik, praktik pengajaran yang telah dilakukan sejak masa peradaban yunani kuno yang diajarkan secara berhadapan dalam ruang kelas adalah sebuah praktik lama yang masih berlangsung hingga saat ini. Metode transfer ilmu dan wawasan disertai katalisasi nalar lewat segala abstraksi yang memunculkan nalar berfikir yang kritis. Tentu saja nalar kritis ini adalah sebuah instrument yang membuat setiap orang sanggup beradaptasi dengan perubahan itu sendiri.
Peradaban adalah sebuah perjalanan panjang yang tidak dapat ditempuh hanya dengan semalam, keterbatasan dari sebuah komunitas masyarakat akan sangat ditentukan oleh kualitas tiap individu di dalamnya, yang mana semuanya berawal dari pendidikan dan penerapan nalar kritis untuk membentuk peradaban di dalamnya. Â Tapi di sisi lain kebiasan kita untuk mengelola informasi secara perlahan namun mendalam telah tergantikan oleh semua perangkat yang dapat kita akses secara mudah saat ini. Semua perangkat elektronik telah berubah menjadi zat psikotropik yang sangat mempengaruhi tentang segala hal yang kita yakini dan bagaimana kita menjalaninya.
Krisis Pangan, Krisis Keamanan dan Krisis ekonomi adalah hal yang telah terjadi secara berulang dalam sejarah dunia, tapi krisis Identitas yang dipengaruhi oleh gejolak algoritma telah membentuk kebudayaan baru dari manusia yang pragmatis namun tanpa orientasi untuk melakukan stabilitas dan pembangunan yang berkelanjutan, pengkotakan ilmu pengetahuan yang semakin menjauhkan ranting-ranting sub-ilmu dari akar filosofi telah membuat dunia dipenuhi oleh kompetisi perusakan alam dan persaingan kekayaan, sedangkan akses internet mengikis identitas manusia yang hidup secara utuh menjadi sebuah kelompok subordinat yang memiliki banyak keinginan tanpa melakukan perbaikan ataupun pelestarian.
Tuntutan untuk bertahan dalam lonjakan perubahan melalui algoritma telah dimulai sejak publisitas berlangsung masal, dimula dari debat teologi yang memulai perpecahan faksi gereja dan keruntuhan kekaisaran gereja, pecahnya revolusi perancis dan runtuhnya sebagian besar kerajaan di seluruh dunia yang digantikan oleh pemerintahan sipil, hingga transformasi budaya lewat percampuran subkultur yang dimotori oleh lonjakan algoritma dari seluruh dunia lewat akses internet dan aplikasi di gawai yang mereka genggam sehari-hari. Â
Kebiasaan membaca adalah akses informasi berdasarkan frgamen-fragmen yang dapat mengembalikan hakikat kita berdasarkan basis pengetahuan yang kita miliki di masa yang akan datang, dengan tetap mempertimbangkan baik dan buruk untuk segala hal lewat tabungan data dan sudut pandang yang tidak bertolakbelakang dengan hakikat kebenaran dan keberlangsungan.
Tentu saja hal-hal itu mengukuhkan kebutuhan dari masyarakat untuk dapat bertahan hidup (Survive) dengan segala perubahan dan tuntutan manusia dan dunia di era modern ini. Kemampuan untuk beradaptasi dan menghadapi lonjakan algoritma yang kita genggam adalah sebuah serbuan kebudayaan yang mungkin saja menggerus kita secara perlahan, nalar kritis diperlukan untuk membentengi diri dari segala objek yang tanpa sadar kita proses sebagai informasi sehingga mempengaruhi pola kita berfikir sebagai masyarakat global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H