Naquib yang memandang kalau Islam adalah panduan kebenaran melihat kalau keilmuan modern yang terpengaruh oleh perkembangan islmu di barat telah mempengaruhi pandangan masyarakat islam tentang keilmuan, inilah yang mendorongnya untuk menelurkan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan.
Dalam sudut pandang saya, Naquib memiliki kesamaan pandangan dengan Jacques lacan dalam melihat tatanan, apabila Lacan memandang kalau imaginary order (pemahaman yang bersifat individual) yang secara kolektif dapat menciptakan symbolic order (Pemahaman yang bersifat kolektif). Begitupun halnya dengan Naquib Al-Attas yang memandang kalau penyebaran nilai perlu dimulai dengan islamisasi fikiran, yaitu mengintegrasikan pemahaman dunia dari ilmu pengetahuan ke dalam tujuan agama islam, lalu kemudian saat dianut oleh kelompok kolektif hal ini akan membimbing pada kesempurnaan masyarakat bagi tujuannya di dunia, maupun di akhirat.
Saat ini masyarakat Barat memandang kalau Ilmu pengetahun sebagai ranah yang bebas nilai, dan objektifisme dianggap suatu keharusan dengan menghilangkan berbagai subjektifitas, yang mana salah satunya agama. Tujuan yang coba diraihnyapun adalah kepuasan dan penemuan obaru. Sedangkan dalam agama islam, tujuan dari menuntut ilmu dan mempelajari ilmu pengetahuan adalah untuk melanjutkan pengabdian pada agama dan kebaikan di dunia maupun di akhirat.
Sebagaimana Imam Ghazali menganggap bahwa tholabul-ilmi atau menuntut diri untuk mengejar ilmu pengetahuan memiliki tujuan sebagai proses pembentukan jiwa menuju akhlakul-karimah guna taqarrub ilallah (mendekatkan diri pada Allah SWT) untuk mencapai keselamatan di dunia dan keselamatan akhirat.
Lalu, dalam buku lainnya yang berjudul The Concept of Educations in Islam : A Framework for an Islamic Philosophy of Education yang dterbitkan pada tahun 1997, Â Naquib menjabarkan riset yang ia lakukan pada para pemuda Muslim. Naquib menemukan kalau ajaran yang diterima oleh kalangan muda di masa itu adalah pemahaman yang tertutup, sebuah wawasan keagaman yang dianggap tidak boleh diperdebatkan, yang mana pada akhirnya tujuan dari dakwah keagamaan itu dianggap sebagai dogma yang menolak kritik dan keterbukaan pada ajaran.
Faktor budaya dan psikologis mempengaruhi kurangnya dialog keterbukaan yang dapat menuntun para pemuda menuju keimanan yang sesungguhnya. Untuk mengatasi stagnasi ini, Naquib menganjurkan sebuah konsep yang dinamakan dengan 'tranformasi menjadi', sebuah konsep eksistensial yang Naquib kembangkan menjadi sebuah pemikiran dalektis agar pemuda Muslim tidak terjebak dalam doktrin keagamaan yang justru membuat agama islam stagnan, dan melalui proses waktu mengalami kemunduran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H