Berbicara tentang Kota Yogyakarta, maka mayoritas dari kita akan terbayang dengan berbagai citra yang lazim kita temui di sosial media ataupun kehidupan nyata. Mulai dari kota pelajar, kota budaya, angkringan dan nasi kucing, juga sihir kehidupan slow living ala masyarakat jawa, semua adalah tentang satu identitas yang sama: Kota Yogyakarta. Bukan tanpa alasan, kehidupan slow living ini juga dikaitkan dengan citra Kota Yogyakarta sebagai kota wisata dengan "UMR (upah minimum regional) rendah". Di sosial media misalnya, beredar slogan kolaborasi Jakarta X Yogyakarta yaitu "pendapatan Jakarta, biaya hidup Yogyakarta". Bagaimana tidak? rata-rata pengeluaran per kapita warga Kota Yogyakarta pada tahun 2023 menurut Badan Pusat Statistika (BPS) adalah sebesar Rp.1.660.000/orang/bulan. Sungguh angka yang menarik bukan?
Perpaduan imajinasi untuk hidup dengan rata-rata pengeluaran seperti itu ditambah dengan kekentalan kebudayaan bermasyarakat di Kota Yogyakarta seolah memberikan angin segar, khususnya bagi para warga pendatang atau perantauan untuk mewujudkan hakikat dari kehidupan slow living itu sendiri. Padahal, alih-alih menjalani kehidupan dengan tentram dan sejahtera, terdapat satu bom waktu yang seringkali dilupakan dan tertutup dengan kemakmuran berbudaya di masyarakat yogyakarta, dan itu adalah tentang sampah.
Pariwisata Dan Sampah Di Yogyakarta
Secara angka, pesona Kota Yogyakarta berhasil memikat 7,2 juta wisatawan (termasuk 105 ribu wisatawan mancanegara) untuk datang berkunjung pada tahun 2023. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk di wilayah eks-karesidenan surakarta (surakarta-boyolali-sukoharjo-karanganyar-wonogiri-sragen-klaten) pada tahun yang sama. Sungguh mobilitas yang sangat tinggi untuk sebuah wilayah kecil di selatan pulau jawa ini. Daya pikat Kota Yogyakarta ini, diterima atau tidak, berdampak pada semakin banyaknya sampah. Hal ini diutarakan oleh Aman yuriadijaya, selaku Setda Kota yogyakarta, dimana Kota Yogyakarta mampu menghasilkan lebih dari 300 ton sampah per hari.
Pada mulanya, sampah diangkut menuju Tempat pembuangan Akhir (TPA) Piyungan. Hanya saja, dengan penetapan Surat Gubernur Nomor 658/11898 Tahun 2023, TPA Piyungan resmi ditutup. Sebagai informasi, TPA piyungan telah beroperasi selama 28 tahun terakhir sebagai pusat pembuangan sampah di wilayah provinsi DI Yogyakarta dengan mayoritas sampah adalah sampah sisa makanan yaitu sebesar 35% atau sekitar 245 ton per hari. Sehingga penutupan TPA ini tentu akan memberikan perubahan kepada pola pengelohan sampah yang ada di provinsi Yogyakarta.
Hasil pengamatan Tempo menunjukkan bahwa penutupan TPA Piyungan memberikan efek pada pembiaran dan penumpukan sampah di depo-depo pengangkutan. Hal ini berdampak pada munculnya perilaku buang sampah sembarangan di tempat-tempat umum yang menganggu estetika lingkungan. Padahal, anggaran operasional dalam pengelolaan sampah telah jauh meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Anggaran meningkat menjadi 20 milliar tahun ini, meningkat dibandingkan tahun lalu (2023) yaitu sebesar 4 milliar, keterangan Aman Yuriadijaya selaku Sekretaris daerah Kota Yogyakarta.
1 RW 1 Bank Sampah: selain bersih dan indah, cuan juga
Menyadari akan pentingnya partisipasi aktif masyarakat, pemerintah kota melakukan beberapa pendekatan sosial berbasis kemasyarakatan diantaranya melalui peluncuran 4 program terkait dengan pengolahan sampah diantaranya adalah bank sampah. Bank sampah adalah skema penyimpanan sampah oleh nasabah dengan ganjaran transaksi rupiah per satuan berat sampah yang disetorkan. Melalui bank sampah, pengelolahan sampah secara terpadu, seperti daur ulang dan penggunaan kembali menjadi lebih efektif. Per Mei 2023, Danang Rudiatmoko (ketua DPRD Kota Yogyakarta) menuturkan bahwa Kota Yogyakarta memiliki kurang lebih 6.817 bank sampah, jumlah yang hampir setara dengan banyaknya RW di Kota Yogyakarta. Dengan jumlah bank sampah sebanyak itu, Pemkot yogyakarta meng-klaim bahwa hampir 50% sampah harian di Kota Yogyakarta berhasil diolah oleh bank sampah. Sebuah prestasi yang elegan mengingat saat ini, Kota Yogyakarta memasuki babak baru pengelolahan sampah, dengan ditutupnya TPA Piyungan.
Bank sampah dapat menjadi solusi dari kemandirian pengelolahan sampah berbasis pemberdayaan masyarakat. Beberapa manfaat yang diperoleh dari aktifnya peran bank sampah dalam pengelolahan sampah di masyarakat adalah meningkatnya kebersihan dan keindahan lingkungan. Penelitian Sri Haryanti yang dipublikasikan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa 65% masyarakat di Kota Yogyakarta merasa lingkungan menjadi lebih bersih karena partisipasi aktif masyarakat sekitar dalam pengelolaan sampah di bank sampah. Respon yang hampir serupa juga didapat pada lingkungan tempat tinggal seperti rumah dan asarama.
Selain memberikan dampak pada estetika dan kebersihan lingkungan, bank sampah juga turut andil memberikan tambahan ekonomi kepada para nasabahnya. Nasabah dapat mendapatkan tambahan penghasilan dari sampah yang disetorkan kepada bank sampah. Selain itu, pengelola bank sampah juga bisa mendapatkan keuntungan (omset) dari bank sampah yang dikelolanya. Studi di kota Yogyakarta yang dilakukan oleh Dian Artha menunjukkan bahwa variasi pendapatan dari bank sampah bervariasi mulai dari 500 ribu sampai dengan 4 juta rupiah. Hal ini tentu sebuah angin segar bagi sebuah konsep ekonomi hijau berlandaskan pemberdayaan masyarakat. Akan lebih pas lagi karena konteks bank sampah berada di wilayah Kota Yogyakarta, yang dengan berbagai dinamika ekonominya, termasuk sebagai salah satu kota dengan rata-rata pengeluaran paling kecil, menurut BPS.