Catatan: Tulisan ini saya buat November 2012, dan pernah dimuat di Koran Jurnal Nasional, yang sekarang sudah almarhum. Sepertinya masih relevan untuk kondisi sekarang.
TAHUN 2011, pemerintah pernah mengundang sejumlah pegiat kebudayaan dari seluruh provinsi. Mereka masing-masing mewakili provinsinya. Mereka diminta membahas permasalahan kebudayaan Indonesia.
Karena sudah datang perwakilan dari Aceh hingga Papua, forum tersebut dianggap bisa mewakili kebudayaan di seluruh Indonesia. “Tapi wakil Aceh langsung protes,” ujar Ayu Sutarto, budayawan yang juga Guru Besar Sastra Universitas Jember, Jawa Timur, akhir pekan lalu dalam sebuah forum grup discusion FGD tentang “Sinergitas Pendidikan dan Kebudayaan, yang bercerita ulang tentang forum kebudayaan tersebut.
Perwakilan Aceh itu mengungkapkan, kebudayaan di Aceh tidaklah tunggal. Ada Singkil, Pidie, Alas, dan Gayo. ‘Jadi saya tidak bisa mewakili mereka,” ujar Ayu, menirukan perwakilan dari Aceh saat itu. Menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa masyarakat, atau bahkan pemerintah, tak memahami betapa beragamnya, dan apa saja sebenarnya kebudayaan Indonesia.
Ayu lantas mencontohkan lagi kebudayaan di Papua. Selama ini, orang sering mengidentikkan budaya Papua dengan budaya Suku Asmat. “Padahal, keragaman budaya di Papua, paling tinggi di antara daerah-daerah lain di Indonesia,” kata Ayu. Ada kultur Suku Dani, Biak, Merauke, Amungme dan lain-lain. “Di Papua, bahkan ada tak lebih dari 30 orang penutur bahasa daerah yang berbeda dengan suku-suku di Papua lainnya,” ujar Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra, yang menjadi pembicara utama dalam FGD tersebut.
Bahkan, kata Ayu, di Tanah Jawa saja ada banyak ragam. Suku Osing di Banayyuwangi tak mau disebut Jawa. Begitu pula dengan Suku Tengger, di Gunung Bromo. Lalu, orang Banyumas tak mau dimasukkan bagian dari budaya Jawa Tengah. Kebudayaan Solo juga berbeda dengan Yogyakarta. “Artinya, batas-batas budaya berbeda dengan batas-batas administratif atau pun geografis,” kata Ayu.
Heddy dan Ayu lantas mencontohkan lagi. Di Maluku, kebudayaan orang Ambon sangat berbeda dengan orang di Pulau Buru, Saumlaki, atau pun di Kepulauan Tanimbar. Di Kepulauan Tanimbar pun, masing-masing pulau punya budayanya sendiri-sendiri.
Heddy dan Ayu lantas mengusulkan agar pemerintah segera menginisiasi peta budaya Indonesia secara lengkap. Peta ini berguna bagi bangsa ini untuk betul-betul memahami betapa aneka ragamnya kebudayaan Indonesia.
Bambang Wibawarta, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia sepakat dengan usulan tersebut. Pihaknya pun telah melakukan pemetaan budaya Betawi. “Kami berharap, masing-masing perguruan tinggi melakukan pemetaan budaya di wilayah sekitarnya,” tuturnya.
Untuk pemetaan ini, Ayu juga telah melakukan untuk Jawa Timur. Dia membagi Jawa Timur menjadi subkultur Mataraman, Arek, Madura Pulau, Madura Pesisir Jawa Timur, Tengger, Osing, Madura Bawean, dan Kangean.
Bambang menilai pembuatan peta budaya nusantara bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tugas bersama. “Karena itu, harapan saya, semua pihak harus membantu,” tuturnya.