Cak Nur pun menyebut indikasi keberhasilan tersebut. Pada era 50-an, 60-an, dan 70-an, bila orang shalat di kantor kebanyakan dituduh sebagai anggota partai Islam, ekstrem kanan dan sebagainya. Kini stigma semacam itu hampir tak terjadi. Orang memandang biasa, kegiatan keagamaan dilakukan di kantor-kantor. Oleh karenanya, Cak Nur tak ingin stigma semacam itu muncul kembali, lewat pembentukan partai Islam. Pandangan ini didukung oleh Said Aqil dan Mochtar Pabottingi, kendati mereka sepakat dengan Amien yang menganggap pendirian partai berlabel agama merupakan hak asasi setiap orang.
Tentu saja, dengan hilangnya stigma tersebut, maka kian terbukalah bagi NU dan Muhammadiyah untuk diterima kelompok lain. Apalagi bila di masa depan, generasi penerus kedua ormas tersebut lebih bisa memahami kebhinekaan bangsa ini. Kehadiran Islam sebagai salah satu rujukan bangsa ini tak pelak karena ia menjadi bagian tak terpisahkan dari mayoritas rakyat. Tentu saja, universalitas Islam yang jadi rujukan menjadi bagian tak terpisahkan bangsa ini secara keseluruhan. Artinya, siapa pun tanpa memandang agamanya mengakui nilai-nilai itu sebagai bagian dari konsensus nasional.
Bila itu disepakati, maka kondisinya boleh jadi mirip dengan yang terjadi di AS. Di negeri Paman Sam itu, nilai-nilai Kristen Protestan
menjadi platform moral utama dalam kehidupan berbangsa. Tapi nilai-nilai itu dikemas sedemikian rupa sehingga membawa berkah kepada semua golongan dan kelompok, tidak eksklusif. Thomas Jefferson, yang mengkonsep awal platform itu, mengaku bukan orang Kristen. Tapi ia mengaku konsepnya itu diambil dari Bible. Dan konsep itu sampai sekarang dipakai sebagai rujukan etika keamerikaan.
Dengan platform yang tak eksklusif itu, maka tak heran orang-orang Islam di AS juga punya hak untuk menyebarkan agama, dan bila perlu menuntut. Nurcholish menceritakan kejadian mutakhir di negeri itu. Suatu komunitas Muslim di Maryland (dekat Washington DC) ingin mendirikan madrasah. Langkah itu ditentang oleh dua pendeta. Tapi, lebih banyak pendeta yang mendukung pendirian sekolah itu. Malah pendeta yang setuju ini memperjuangkannya ke DPR setempat, dan berhasil. ''Islam di Indonesia harus kita biarkan seperti itu, tanpa eksklusifisme (untuk menjadi nilai keindonesiaan),'' kata Cak Nur. Itu berarti bukan mengusahakan sebaliknya, yakni menjadikan Islam sebagai partisan lagi.
Tekanan untuk menghindari eksklusifisme menjadi kian penting bila melihat karakter penduduk Indonesia. Indonesia merupakan negara yang masih mempunya kantong-kantong etnis primitif, selain negara-negara Afrika. Kemudian, budaya untuk membuat keonaran (Cak Nur menyebut Tribalisme) masih kental. Contoh konkret, ketika kampanye pemilu atau pertandingan sepakbola, seringkali dibarengi bentrokan, kerusuhan, dan pengrusakan. Bila itu mendapat tambahan bungkus absolutisme, maka akan
lebih berbahaya.
Dengan latar belakang semacam itu, tentu menjadi tugas berat bagi NU-Muhammadiyah untuk menjadikan Islam sebagai nilai keindonesia. Dan alangkah baiknya, bila kedua ormas itu, mengalihkan energi untuk saling menghujat, atau menjegal di antara keduanya, menjadi sinergi guna mewujudkan Islam sebagai nilai keindonesiaan.
Maka pada abad 21 nanti, kita akan menyaksikan suatu perdebatan yang lebih modern antara tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah ini. Semua pihak tentu berharap betul, sikap demokratis dan lebih toleran melekat pada generasi itu. Sehingga, perjuangan untuk menjadikan nilai-nilai Islam menjadi etika keindonesiaan yang bisa diterima semua kelompok dan golongan, bisa tercapai. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H