Menurut Bambang, sejauh ini memang strategi kebudayaan yang dijalankan pemerintah tidak jelas. “Selama ini semua hanya sporadis, seperti mengirim misi budaya ke luar negeri dengan seni tari tradisional,” ujarnya. Hal ini membuat kebudayaan mengalami penyempitan makna. Selama ini kebudayaan hanya diartikan sebagai kesenian yang berujung pada produk materiil dan komersial.
Karena itu, Heddy berpendapat, peta budaya sangat penting untuk terus menyadarkan bangsa ini tentang keindonesiaan. Apalagi saat ini serbuan budaya global makin sulit dibendung. Apakah itu budaya dari Barat seperti produk-produk Hollywood, maupun budaya Timur, seperti budaya pop dari Korea Selatan dan Jepang.
Bambang lantas mengingatkan bahwa globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat tanpa batas wilayah. Jarak dan waktu pun semakin pendek. Hadirnya teknologi infomasi dan komunikasi yang perkembangannnya sangat cepat, menjadi pendukung utama globalisasi. Dalam kondisi semacam itu, sikap kritis dan mental akan menjadi filter. “Dan itu adalah budaya,” tuturnya.
Ayu mengingatkan, produk-produk kebudayaan memiliki dua manfaat. Pertama, manfaat politiko-kultural yakni sebagai perekat dan penjaga identitas/jati diri. Kedua, manfaat ekonomis yakni melalui peningkatan kesejahteraanya pelakunya dan bangsa.
Dengan demikian, untuk lebih bisa meningkatkan rasa keindonesiaan di daerah-daerah, menurut Heddy, sudah selayaknya pemerintah selalu mengedepankan pendekatan kebudayaan. Dia mengkritik cara-cara pemerintah, khususnya yang dijalankan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan, yang sering lebih mengedepankan pendekatan keamanan.
Ayu pun lantas mengingatkan kembali bahwa keindonesiaan itu sebenarnya adalah bangunan yang boleh dikatakan mistis, dan atas keberanian segelintir orang terdidik. “Betapa beraninya bapak bangsa kita, ketika menyatakan keindonesiaan saat menyatakan Sumpah Pemuda itu, mengingat betapa beragamnya kita,” tuturnya.
Nah, hingga saat ini bangunan itu belum selesai betul terbangun. Menurut Ayu, nation and character building, dari awal kemerdekaan hingga kini masih menjadi tantangan domestik yang belum terselesaikan, dan menjadi agenda besar bangsa ini.
Sejalan dengan pembangunan bangsa dan karakternya itu, pemberantasan buta huruf/buta aksara juga belum terselesaikan dan menjadi agenda besar pula. Pasalnya, pemberantasan ini akan menentukan perubahan budaya masyarakat Indonesia, dari masyarakat bertradisi lisan (oralit), menjadi bertradisi keberaksaraan (literacy).
Perlu diingat, pada saat kemerdekaan diproklamirkan, konon jumlah warga bangsa yang melek aksara kurang lebih hanya lima persen dari total penduduk. Jumlah sarjana yang ada kurang lebih hanya 100 orang, sebagian besar sarjana hukum. Sumber daya manusia yang terbatas ini harus berhadapan dengan persoalan dan sumber daya alam yang melimpah. “Akibatnya, pembangunan terhambat, budi daya dan daya budi kurang berkembang,” kata Ayu.
Dengan demikian, intervensi pendidikan menjadi sangat penting bagi kebudayaan, dan pada gilirannya adalah keindonesiaan. Melalui jalur pendidikan ini, juga bisa dirintis pertukaran budaya (cross culture), antarsukubangsa Indonesia, melalui program pertukaran pelajar.
Menurut Heddy, pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,. harus lebih mementingkan pertukaran pelajar antardaerah ketimbang antarnegara. “Mempelajari budaya asing penting, tapi lebih penting mempelajari budaya sendiri, yang mungkin justru belum banyak dimengerti,” ucapnya.