PELUANG EKONOMI BAGI PENJAB(HAT) DENGAN MENTAL KORUP DAN PEMALAS
Kemarin terjadi pemogokan sopir bis antar kota – antar propinsi dengan trayek jurusan Surabaya (Terminal Osowilangun) menuju Semarang dan melewati Lamongan, Babat dan Tuban. Pemogokan para awak bus itu terjadi selama 10 hari. Sepanjang hari itu pula para penumpang dengan tujuan diatas mengalami “kerugian” karena selama 10 hari itu pula penumpang dari kota Bojonegoro, Lamongan serta Tuban dari berbagai macam profesi ekonomi “terlantar” di terminal kota masing-masing.
Tuntutan para awak bus adalah perluasan terminal Tambak Osowilangun yang dibangun sejak 1997. Mulai di tutupnya Terminal Jembatan Merah dan di bangunnya terminal Purabaya. Sejak kebijakan trayek baru bahwa semua armada bus antar kota antar propinsi khususnya dengan tujuan semarang dari terminal Purabaya supaya pindah ke Terminal Tambak Osowilangun. Namun para awak bus yang lain khususnya dengan trayek Malang, Surabaya, Lamongan (Babat), Bojonegoro mengultimatum supaya Bus antar kota antar propinsi jurusan Semarang tersebut tidak mengambil penumpang di tengah jalan.
Terminal Tambak Osowilangun dari tahun 1997 sampai dengan hari ini tahun 2012 luas dan kondisinya masih tetap sama tidak banyak berubah sedikit pun, padahal setiap mikrolet/angkutan kota setiap masuk ke terminal tersebut kena uang retribusi mulai dari 50 rupiah di tahun 1997 dan 500 rupiah di tahun 2012 sedangkan peron untuk penumpang yang mau ke luar kota 100 rupiah. Tapi kondisi terminal masih tetap sama, tetap sempit, tetap sumpek seperti sediakala walaupun kepala terminal sudah silih berganti dalam jumlah ribuan kali, begitu juga kepala DLLAJR, serta Dirjen Perhubungan darat bahkan menteri perhubungan. Adakah sisa 500 rupiah untuk perluasan terminal Tambak Osowilangun sesuai dalam Rencana strategis pembangunan jangka panjang Terminal.
10 hari yang melelahkan bagi para rakyat yang tinggal di wilayah Bojonegoro, Lamongan serta Tuban dan Gresik ketika menjalankan aktifitas kesehariannya ketika harus menuju kota Surabaya. Selama 10 hari itu pula dalam kondisi tersebut tidak ada satu pun kendaraan TNI yang stand by (ambil alih) di terminal-terminal kota Bojonegoro, Tuban, Lamongan serta Gresik dan Terminal Tambak Osowilangun. Di dalam kondisi carut marut semacam itu “wajib” hukumnya bagi TNI (truk) untuk mengambil alih kegiatan sipil ketika terjadi situasi tersebut.
Namun fakta di lapangan yang terjadi adalah banyak beroperasinya mobil-mobil minibus serta mobil dengan plat hitam atas “ijin” dari oknum lembaga (TNI, DLLAJ, serta Polisi) yang berupa “surat sakti” yang di dalamnya tercantum nomer-nomer handphone para oknum-oknum tadi di atas dan hebatnya para oknum instansi-instansi tersebut terlibat dengan saling berkoordinasi ketika mobil, minibus tersebut memasuki wilayah/kota (Surabaya, Gresik, Tuban, Lamongan, Bojonegoro) dengan tarif 30% lebih mahal dari tarif biasanya. (HASIL DISKUSI DENGAN SOPIR lyn SG).
Achmad fathoni
Bakul Kopiah dan sarung Keliling.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H