POTENSI KELAUTAN NEGERI MARITIM YANG MEMPRIHATINKAN
Pesisir pantai utara merupakan salah satu garis pantai di pulau jawa yang sangat strategis sejak zaman Mataram kuno dan Mataram Islam. Bahkan sampai zaman kolonialis VOC pesisir utara pulau jawa masih sangat diperhitungkan dan tetap menjadi kawasan yang sangat strategis dengan di bangunnya jalan beraspal mulai dari Panarukan sampai ke Anyer. Dengan dibangunnya jalan beraspal tersebut maka semakin menguatkan kalo kawasan pantai utara pulau jawa memang benar-benar kawasan yang sangat strategis dan tidak dapat di anggap remeh.
Suatu waktu Pemprov jawa timur menawarkan kerjasamanya dengan investor dari negara eropa dan disetujui oleh beberapa negara di eropa, dengan memberikan beberapa tugas proyek di wilayah maupun pembagian tugas pola pekerjaannya. Misalnya negara Belgia membangun pabrik pemrosesan batu kapur di Kecamatan Panceng, Negara Perancis membangun bendungan gerak di kecamatan Bungah, Negara Rusia ikut tampil dengan menggarap rel kereta api (transportasi). Hingga munculnya perda-perda tentang kawasan rencana tata ruang dan wilayah. Tentu saja semua perda yang ada memihak kepada para investor asing dan para pemodal besar dengan mengacuhkan kondisi masyarakat pesisir yg mengandalkan sumber rejekinya dari potensi kelautan mapun pesisir pantai masing-masing.
Namun apakah selama ini pemerintah (eksekutif) maupun legislatif khususnya di wilayah pesisir pantai utara kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban menyosialisasikan perihal program pembangunan di wilayah tersebut secara detil dan masyarakat tahu dan sengaja diberitahu tentang keinginan pembangunan tersebut? Idealnya masyarakat pesisir itu diberitahu dan tidak hanya mendengar melalui kabar burung dan selentingan (sampah informasi) yang artinya masyarakat tersebut sangat tidak tahu menahu perihal pembagunan di wilayah kawasan pantai utara oleh negara-negara asing tersebut. Dan berakibat dengan ketidaksiapan masyarakat untuk menerima perubahan-perubahan tersebut dan akhirnya berujung pada mental Nrimo, mental “opo jare Pengeran” (apa kata Tuhan) yang dampaknya masyarakat kita sendiri menjadi kelas pekerja bukan kelas juragan seperti para investor asing tadi.
Dan kejadian-kejadian semacam itu sudah banyak terjadi dan berulang selalu berulang dan pelakunya selalu pemimpin-pemimpin kita sendiri yang kita pilih melalui even lima tahunan yaitu PEMILU. Sudahlah perihal tersebut tidak kita jadikan sebuah halang rintang yang terlalu serius, dengan dasar niat yang baik marilah kita duduk bersama membicarakan potensi kelautan khususnya di wilayah pesisir pantai kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban.
Dengan adanya Departemen Kelautan dan perikanan merupakan satu langkah maju perihal menggali potensi maritim diwilayah-wilayah pesisir pantai negara kesatuan republik Indonesia. Walaupun departemen kelautan dan perikanan merupakan lembaga negara yang baru di bentuk di era pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, dalam hal potensi maritim lembaga negara tersebut posisinya sangat strategis karena negara ini memiliki garis pantai yang terpanjang ke empat di dunia yaitu Panjang garis pantai Indonesia tercatat seluas 95.181 km.
Tanggal13 Desember1957 Djuanda Kartawidjaja, Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Semangat kemaritiman Juanda ini kemungkinan besar terinspirasi atau menggunakan refrensi kekuasaan besar dua (2) kerajaan besar yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Memanfaatkan potensi kelautan adalah sangat betul bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia karena memang merupakan langkah strategis yang harus terwujud demi NKRI yang berdaulat dan sesuai dengan suara Perdana menteri Juanda Kartawidjaja.
Jadi nelayan menurut para cerdik-pandai masyarakat kita tidak keren, tidak parlente, tidak mbois, tidak dan tidak punya dalam benak mereka setelah lulus kuliah untuk jadi masyarakat nelayan. Hampir dipastikan semua masyarakat nelayan adalah mereka yang hanya lulusan SD sampai SMP dan mereka belajar dari lokal wisdom dan kearifan alam laut. Jadi sangat ironis dan miris apabila negara-negara seperti Muangthai, Korea Selatan, dan Jepang serta China yang hanya punya garis pantai kecil tapi produksi tangkapan ikan mereka tidak sebanding dengan luas wilayah laut mereka. Pertanyaannya kemanakah mereka mencari ikan sebanyak itu???
Perlunya Pembangunan ekosistem kawasan laut dan pesisir serta pasar ikan berskala internasional. Sebelum melakukan arah pembangunan di wilayah-wilayah pesisir pantai di kabupaten Gresik, Lamongan, dan Tuban. Tentu perlu dilakukan format pemetaan dan langkah-langkah prioritas serta disesuaikan dengan potensi-potensi di masing-masing wilayah kabupaten tersebut atau bila diperlukan perlunya dibangunnya ke khasan potensi maupun pusat-pusat hasil tangkapan ikan laut sehingga konsumen lebih fokus.
Artinya di dalam kita melakukan pembangunan di wilayah pesisir pantai tersebut tentu saja kita tidak boleh dengan serta merta mengabaikan pemikiran-pemikiran lokal wisdom dan sebelum kita melakukannya tentu harus ada proses dialog, tanya jawab atau cangkrukan dengan masyarakat-masyarakat di pesisir pantai di wilayah kabupaten Gresik, Lamongan dan Tuban.
Kawasan-kawasan pembangunan hutan bakau (mangrove) dan terumbu-terumbu karang sebagai habitat hewan laut juga perlu dilakukan sehingga hasil tangkapan para nelayan di 3 kabupaten tersebut tetap stabil sehingga pasar tetap tersuplai dengan konstan.
Hampir di setiap wilayah pesisir pantai disitu kita dapati TPI (Tempat Pelelangan Ikan), namun yang terjadi adalah kurang maksimalnya fungsi dari Tempat pelelangan Ikan tersebut. Fakta dilapangan para nelayan tidak bisa berbuat banyak terhadap harga ikan hasil tangkapannya, artinya harga dari hasil tangkapan nelayan harganya di tekan serendah mungkin. Kurangnya pemetaan kualitas ikan hasil tangkapan dan perlunya di bangun pasar ikan yang berskala internasional seperti di negara Jepang.
Sektor atau sisi pendidikan dan penyuluhan tentu juga harus sesuai dengan lokal wisdom artinya antara para petugas penyuluhan dengan masyarakat sekitar tidak saling “menggurui” satu sama lain. Proses tersebut juga harus mampu mengupgrade atau menambah pengetahuan tentang teknologi perikanan yang disesuaikan dengan pasar ekspor maupun domestik sehingga para nelayan pun menjadi tahu mana hasil tangkapan yang bagus dan mana yang kurang begitu baik. .
Semoga para sarjana negeri ada yang mau menjadi nelayan dan berlayar di tengah kaya-rayanya potensi kelautan negeriku Indonesia sehingga kesejahteraan itu bisa terwujud tidak hanya menjadi bunga tidur para nelayan dalam cekungan perahu-perahunya yang tersandar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H