Bagaimana menceritakannya? Dipersiapkan sejak pagi, sejak terakhir berkunjung ke sana. Hanya untuk memberikan kabar pada mereka yang duduk di atas kursi sana, bahwa perhatian untuk tempat itu juga hak bagi semua. Ketika bangunan-bangunan rumah didirikan sementara lahan hijau semakin terkikis. Tidak jadi sebuah pernyataan penuh amarah, tapi hanya kepedulian belaka.
Masa kecil di sana, setiap datang hari raya dan kisah orang tua. Tentang sungai yang mengalir jernih seperti kolam renang hotel berbintang. Aroma hutan yang bersahaja, dipenuhi kesejukan yang menyelimuti udaranya, taksampai hati meninggalkannya meskipun untuk sedetik.
Pasir Kuntul di Ngamprah di Bandung Barat di Jawa Barat di Indonesia. Jauh dari Tolikara atau Andalus tapi kisah yang maknanya hadir serupa. Meski bukan mengenai hal yang menyakitkan, di dada terasa sama, mengenai keterkikisan hal yang arif yang diajarkan alam kepada manusia sang khalifah.Â
Sekarang terasa panas dan taklagi teduh seperti kata ibu serta mereka yang pernah hidup dikenal di ingatan. Bukan saja kemiskinan yang kentara jelas di mata yang tengah diupayakan mereka yang merasa tidak ingin kita hidup damai. Hal yang berbeda, tapi dekat dan dimanfaatkan agar kita lupa, bahwa kita hidup bersama alam beserta isinya. Pojok penuh pohonan, tanah yang subur, pencaharian yang tumbuh dari tanah dan menjadi kebutuhan paling pokok. Itulah yang diberikan-Nya melalui alam.Â
Bukan taman-taman dari beton yang didirikan untuk memanjakan kita. Nafas yang natural yang keluar dari dedaunan, suara-suara bisikan yang muncul dari reranting dan pita suara hewan-hewan melata serta yang menghisap madu dari bunga-bunga. Gemericik air jernih yang mengalir di saluran yang dibuat untuk memberikan ketersediaan air bersih merata bagi kita semua.
Dari Pasir Kuntul, semoga jadi pengingat bahwa kita tidak sendirian. Kita adalah penggerus dan akan selalu terus menjadi karnivor meski dalam anggapan sendiri kita adalah omnivor. Barangkali lebih dari itu. Kita adalah Detrivor. Andai kita bisa lebih ramah lagi dan tidak membuat udara bikin kita sendiri lebih gerah. Kita lebih ditakuti daripada setan dalam film-film. Kita bisa merasuki orang lain seakan-akan kita hidup untuk menaklukkan.
Barangkali selebih dari apa yang kita ketahui. Kita tidak akan pernah bisa menjadi seperti apa yang kita inginkan. Atau menuntut orang lain untuk sejiwa dengan kita. Meski pada akhirnya kita memaksakan dan mendesak untuk hal tersebut. Menuntut lebih sementara orang tersebut pada akhirnya mundur atau barangkali maju lebih sebaliknya. Malah mendesak kita mundur dan kitalah yang menjadi yang kalah karena terhempas oleh keinginan sendiri. Seperti itulah saat kita dirasuki diri kita sendiri yang menyalakan api yang sebenarnya dan seharusnya tidak perlu menyala.
Sedikit, hanya sedikit sekali jika bisa dinyatakan dengan hal yang ramah. Konsekuensi perbuatan dan respon lingkungan. Ketika kita memanjakan diri kita dengan situasi yang tepatnya membumi lalu kembali lagi ke rutinitas yang kita sendiri merasa jemu karena diri kita sendiri yang takmau berdamai dengan keadaan yang menyimpang. Kita perlu bersikap, tetapi setidaknya dengan pikiran jernih. Panas ya panas dalam kepala dan sekitar kita yang juga kering kerontang. Kalau kembali mengingat dan masa kecil di tempat yang sekarang menjadi cerita, saat liburan hari raya serta tanah bukit di belakang rumah di tempat tersebut: sebuah pemakaman publik yang membangkitkan rasa risih. Cerita-cerita tentang rasa takut mengenai kehidupan yang gentayangan di daerah tersebut.Â
Barangkali jika dengan sengaja kembali dilesapkan dalam ruang bicara masyarakat yang semakin cerdas. Menyuarakan kembali pesan dalam hal yang mitos, bahwa secara logika bisa saja hal tersebut diada-adakan supaya manusia berpikir lain dari yang lain. Mendesain norma menjadi hal yang bersahabat. Bahwa bersahabat dengan lingkungan tidak harus serta merta melakukan hal yang cepat tanpa rencana yang bijak. Â
Tanpa diakui dan mungkin hanya dengan bercerita pendek bahwa satu tempat di atas bukit itu mudah saja dilupakan, entah suatu ketika akan berubah nama atau tidak. Tempat yang dulu dihuni para petani sederhana dan orang-orang yang berjuang untuk negerinya. Seperti halnya tempat-tempat dengan nama-nama yang mungkin telah berganti, siapa yang bisa memberikan peluang supaya dirinya lebih berarti bagi khalayak di tempat tersebut? Dia yang suatu hari nanti bisa berkata, "aku lahir di sini. Tempat moyangku dan mereka adalah pejuang."[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H