sumber photo : tribunnews.com
Tiada habisnya berita mengenai TKI Indonesia dari berbagai Negara. Terkini, malam ini saya menonton berita 900 TKI Illegal yang dipulangkan dari Malaysia tiba di Tanjung Priok hari ini.
Miris melihatnya, hati marah, sedih, malu dan juga geram. Sebagai anak bangsa, saya merasa prihatin melihat nasib saudara-saudara kita. Kadang saya kalo sendiri menonton berita seperti ini, ingin rasanya menangis. Tapi saya tersadar, saya laki-laki, harus tegar melihat penderitaan saudara-saudara diperlakukan oleh negara lain secara tidak adil.
Mereka, para TKI, yang saya tahu hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, buruh bangunan, buruh tani dan pekerja kasar di perkebunan-perkebunan. Dalam diam, saya tak habis pikir, kok hanya kerja seperti itu, mengapa harus ke Malaysia? Sudah sedemikian sulitkah mencari pekerjaan di Indonesia? Ataukah tidak ada sama sekali yang dapat mereka kerjakan di kampung halamannya yang setara dengan pekerjaan yang mereka dapatkan di Malaysia?
Sudah sewajarnya saya langsung marah dan memaki-maki dalam hati, M. Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Djoko susilo, Gayus Tambunan, Wawan (TCW), Ratu Atut, Fathanah, Lutfi Hasan I, Akil Mohktar, Andi A Mallarangeng, Rusli Z, dan sederet tukang garong uang negara lainnya yang tidak perlu saya rilis di sini. Kita mungkin sepakat semua, jikalah uang yang di rampok mereka dipergunakan untuk pembangunan di Indonesia, sudah berapa banyak Tenaga Kerja yang bisa kita hasilkan. Semestinya kita tak perlu memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan permasalahan TKI ini.
Belum kita berbicara Minyak dan Gas Bumi yang dirampok, belum hasil pajak dan Bea Cukai yang dirampok juga oleh para oknum Pajak dan Bea Cukai.
Benarkah negara ini sulit mencari solusi untuk para TKI tersebut? Saya pikir, itu hanya alasan pembenaran kepada kinerja pemerintah yang jelek dan sangat-sangat tidak pro dengan rakyat kecil. Pemerintahan SBY boleh mengklaim angka-angka pertumbuhan yang baik setiap tahunnya, faktanya angka-angka itu tidak berdampak kepada kesejahteraan rakyat.
Menilik, tingkatan hidup para TKI ini, kita meyakini bahwa mereka saat ini berada pada level penduduk miskin dengan keahlian bertani, pembantu rumah tangga, buruh bangunan. Dan ini juga, cukup dapat menggambarkan tidak ada keberpihakan pemerintah dalam hal pertanian, insfrastruktur dan pendidikan yang berkualitas.
Mengapa kita gagal mengangkat taraf hidup penduduk miskin yang telah bertahun-tahun mereka alami? Selalu saya beranggapan tidak ada keberpihakan. Tida ada solusi yang serius dilakukan oleh pemerintah, tentang bagaimana membangun pertanian yang baik dan mendidik petani nya. Tidak ada pembangunan insfrastruktur yang berfokus untuk membuka jalan-jalan ke arah produktifitas.
Rakyat Sumatera utara seharusnya tidak perlu menjadi TKI ke Malaysia, jika Gubsu dan Pemerintah pusat memberdayakan potensi pariwisata Danau Toba yang sekarang sudah mati suri. Berapa banyak yang bisa terlibat jika pariwisata Danau Toba berkembang dan pesat. Tetapi langkah-langkah untuk itu, hanya seremonial belaka. Tidak ada tindakan yang berkesinambungan baik dari Pemda maupun Pusat. Selama kita tidak berpihak kepada potensi kita, maka negara ini akan seperti ini terus.
Rakyat Banten tidak harus menjadi TKI lagi seandainya Trah Ratu Atut dan Wawan tidak merampok Anggaran Pembangunan Banten. Industri manufacturing yang sedang berkembang di Banten, jika pembangunan insfrastukturnya tidak dikorup, mestinya telah menghadirkan jalan, pelabuhan yang baik, yang memperlancar dunia usaha. Berapa banyak buruh yang bisa ditampung di pabrik-pabrik baru yang sedang di bangun. Tetapi uang-uang untuk pembinaan dan pelatihan buruh di tilep Wawan Cs, sehingga tenaga kerja yang berasal dari Banten tidak bisa bersaing dengan dari daerah lain.