[caption id="attachment_380732" align="aligncenter" width="300" caption="sumber gambar : kompas.com"][/caption]
Tekanan, tekanan dan tekanan, itulah yang didapatkan Jokowi semenjak dirinya terpilih menjadi Presiden RI. Baru berjalan 6 bulan, tetapi tekanan itu tidak pernah berhenti. Tekanan yang dialami Jokowi datang dari segala penjuru mata angin. Sejatinya, seorang pemimpin itu, jika mendapatkan tekanan, maka ada rumah untuk berteduh bagi dirinya untuk sebentar merenung dan mendapatkan hikmat dalam mengambil keputusan, tapi apa daya, Jokowi tidak memiliki rumah yang teduh untuk itu.
Sebagai seorang Presiden, pemimpin bangsa, Jokowi semestinya mempunyai akar dan kaki yang kokoh dalam setiap mengambil keputusan, sehingga keputusan yang diambilnya kuat dan didukung banyak pihak, meskipun ada banyak tekanan.
Rumah yang teduh yang saya maksud bagi seorang pemimpin adalah rumah partai pendukung, dimana setiap keputusan seorang Presiden didukung penuh oleh partai yang mendukungnya, tetapi apa lacur, Jokowi tak memiliki itu, PDIP yang mengusungnya tidak dalam genggamannya, PDIP ada dalam genggaman sang ratu, sehingga Jokowi tidak memiliki akar yang kuat, jika ada terpaan angin dalam setiap langkahnya mengambil keputusan. Bahkan goncangan yang paling besar selama 6 bulan pertama ini berasal dari rumah Jokowi, PDIP.
Selain PDIP, Para pembantu Presiden seperti Andi Widjayanto, banyak memberikan statemen yang membuat hati kita lelah, sebab banyak statemennya yang harus membutuhkan perdebatan, klarifikasi. Setali tiga uang dengan Menteri Tedjo, Menkumham, dll, yang menambah tekanan dan beban bagi pundak Presiden Jokowi.
Ketika menulis artikel ini, saya berangkat dari berita telah dilaksanakan eksekusi mati terhadap 8 terpidana mati yang mendapat sorotan tajam dari PBB dan terutama dari negara asal para terpidana mati gembong narkoba tersebut, utamanya Australia yang memiliki Duo Bali Nine. PM Toni Abbot bereaksi keras, bahkan mungkin dalam sejarah akan melakukan penarikan Duta Besar nya dari Jakarta, sebagai reaksi protes keras terhadap Indonesia, sebab sebelum-sebelumnya, Australia tidak menarik Dubes nya ketika ada warganya di hukum mati di Singapura dan Malaysia.
Ketika menulis artikel ini, saya flashback ke belakang 6 bulan, kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden dan saya terharu, mungkin hampir menitikkan air mata, bukan karena sedih, tetapi karena bangga. Baru sekali ini, saya merasa bangga memiliki seorang Presiden dalam diri saya, bukan karena saya tidak respek dengan Presiden sebelumnya, tetapi lebih karena saya mendapati seorang pemimpin, Presiden Jokowi, yang berasal dari bawah, mampu mengarungi tekanan yang begitu dahsyat sejak dia menjabat Gubernur DKI hingga saat ini, dia benar-benar di uji sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun tanpa JEDA...
Saya hampir menitikkan air mata, oleh sebab saya memposisikan diri saya, bagaimana caranya menghadapi tekanan yang begitu besar hanya dengan satu tujuan, untuk Indonesia Jaya, bukan untuk dirinya sendiri. Saya terharu dan bangga hari kepada Jokowi, sebab saya dapati fakta, ada begitu banyak orang yang mendukungnya selama ini, di belakang telah menyusun strategi untuk setiap hari memberikan tekanan. Ada begitu banyak tim sukses yang tidak mendapat jatah, hari-hari ini telah berkonsolidasi dengan berbagai kegiatan untuk menagih janji-janji Jokowi.
Terbaru, Rieke Diah Pitaloka, akan menduduki istana pada jumat dalam acara Mayday. Dalam release press nya disurabaya, telah mengatakan menyesal mengajak buruh memilih Jokowi sebab telah menyengsarakan Buruh, tentu oneng tidak dapat dipisahkan sebagai kader PDIP, setelah sebelumnya Efendi Simbolon, Masinton Pasaribu telah melakukan hal yang sama dalam tema yang berbeda.
http://www.tempo.co/read/news/2015/04/28/078661708/Kecewa-Jokowi-Rieke-PDIP-Ajak-Buruh-Duduki-Istana
Ada begitu banyak relawan yang setia dulu, dekat-dekat dengan Jokowi, kini sudah musuh, seperti Iwan J Piliang, yang saban hari lengket dengan Jokowi. Ada begitu banyak relawan yang sekarang berkampanye untuk menagih janji Jokowi yang katanya sudah lupa Nawacita.