[caption caption="gambar, jakartakita.com"][/caption]Dalam suatu kontestasi, dalam setiap pertandingan, kemenangan dan kekalahan adalah dua sisi yang melekat dan berhadap hadapan. Jika ada yang menang, harus pula ada yang kalah. Tetapi dalam prakteknya pihak yang kalah sering kali tidak dapat menerima kekalahan, meskipun ukuran kemenangan sudah jelas dan sudah dipahami bersama sebelumnya. Kekalahan seringkali membawa amarah, kekalahan bahkan dapat memicu pertikaian, hingga terjadi perpecahan.
Persoalan yang sering terjadi adalah bahwa para pihak menganggap merekalah yang layak menang. Jika pihak lain menang, mesti ada cara untuk menuduh mereka melakukan kecurangan, melakukan segala cara untuk menempuh kemenangan. Padahal hakekat dari pertandingan, pertarungan, kontestasi adalah mendapatkan yang terbaik dari pilihan pilihan yang baik. Artinya kita memilih dari beberapa pilihan yang baik dan itulah yang terbaik menurut ukuran orang yang lebih banyak. Jika demikian halnya, suka tidak suka, rela tidak rela kita harus menerimanya sebagai suatu hasil pertandingan. Just simple!
Idem, dengan pilkada.
Seyogyanya, pilkada adalah event kegemberiaan bagi masyarakat setempat untuk memilih pemimpin terbaik dari pilihan-pilihan yang baik. Masyarakat yang mengajukan calon terbaik, baik lewat partai politik maupun jalur independen, yang tidak kita sadari, kan masyarakat juga yang memilihnya. Setiap warga diberi hak dan kewajiban yang sama, semua masyarakat memiliki harga suara yang sama.Â
Yang kaya dan si miskin harga suaranya sama, sekali mencoblos. Konglomerat dan pemulung, harga suaranya sama. Swasta dan PNS, harga suaranya sama, tetap sekali mencoblos, demikian yang lain. Tetapi seringkali pesta rakyat itu berakhir kepada ketidakharmonisan, bahkan bisa berujung kepada caos...prihatin memang, tetapi itu faktanya.
Jika demikian halnya, kita setara dalam soal pemilihan, setiap warga negara juga berhak untuk dipilih dan memilih. Jika calon yang diajukan oleh partai politik tidak sejalan dengan pilihan kita. Ada calon yang diajukan lewat jalur independen, setiap orang berhak dan mampu untuk mengajukan pasangan calon, asal memenuhi syarat. Jika syaratnya agak berat, bekerja keraslah untuk mencapainya, tiada lain.
Pilkada DKI sudah di depan mata, belum apa-apa, sudah memanas, tegang dan penuh intrik. Medannya keruh, ibarat kubangan kerbau di ladang, kita tidak dapat melihat dengan jelas, siapa musuh, siapa lawan, siapa kawan, siapa teman. Jika sebelumnya kompak dan bersahabat, pilkada dapat merusak segalanya. Begitulah hukum politik, semua bermuara pada kepentingan.
Kita penulis, juga kena getahnya. Jika kita menulis yang baik tentang seseorang, maka label kita akan bertambang, cebongers, cecenguk, panasbung, congor, dan semacamnya.
Dunia medsos memang sangat vital belakangan ini. Bukan lagi dipandang sebelah mata, tetapi dunia medsos, sudah dijadikan alat. Alat untuk berjuang, alat untuk menjual, alat untuk membunuh karakter, alat untuk memuji, alat untuk mengancam, alat untuk berbagai kepentingan lainnya. Kita tidak dapat menafikan dunia medsos lagi, terpulang kepada kita, mau kita gunakan untuk apa dunia media sosial ini?
Pilihan ada pada kita.
Sebagai kompasianer, kita ibarat pengamat, setiap hari harus mengikuti isu yang sedang hangat diperbincangkan. Secara tidak langsung, sebagai makluk sosial kita akan terpengaruh dengan berbagai isu dari hari ke hari. Sebagai kompasianer, sebagai penulis, alangkah sayangnya jika kita tidak ambil bagian dalam berbagai isu yang sedang berkembang. Kita pasti akan tergerak untuk menggores isu yang sedang hangat. Akibatnya kita menulis. Menulis pasti akan berusaha untuk membawa pembaca ke arah yang diinginkan oleh penulis.Â